Hadits
Dhaif dan Hadits Maudhu’
Oleh:
Endah Oktavia
140603220
Dosen Pembimbing:
Tarmizi M Daud S.Ag., M.Ag.
JURUSAN
PERBANKAN SYARIAH
FAKULTAS
EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI AR-RANIRY
BANDA ACEH
KATA PENGANTAR
Penulis panjatkan puji dan syukur
kehadirat Allah S.W.T atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga Penulis dapat
menyelesaikan makalah untuk tugas mata kuliah Ulumul Hadits yang berjudul “Hadits
Dhaif dan Hadits Maudhu’” tepat pada waktunya.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada segenap pihak yang telah membantu
memotivasi dan memberi masukan-masukan yang bermanfaat sehingga Penulis dapat
membuat makalah ini dengan baik. Khususnya, Penulis ucapkan terima kasih kepada
Bapak Tarmizi M Daud selaku dosen mata kuliah Ulumul Qur’an dan Hadits yang
telah memberi tugas makalah ini.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih
jauh dari sempurna, untuk itu Penulis mengharapkan kritik dan saran yang
bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini bermanfaat
untuk pembaca khususnya serta rekan-rekan mahasiswa pada umumnya.
Banda
Aceh, 30 Desember 2014
Penulis
DAFTAR ISI
Kata Pengantar i
Daftar Isi ii
Bab 1 Pendahuluan 1
A. Latar Belakang 1
B. Rumusan Masalah 2
C. Tujuan 2
Bab 2 Pembahasan 3
A. Hadits Dhaif 3
1.
Pengertian Hadits Dhaif 3
2.
Sebab-sebab Hadits Dhaif 4
3.
Klasifikasi Hadits Dhaif 5
B. Hadits Maudhu’ 15
1.
Pengertian Hadits Maudhu’ 15
2.
Kriteria Hadits Maudhu’ 16
Bab 3 Penutup 20
Kesimpulan 20
Daftar Pustaka 21
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hadits, oleh umat Islam
diyakini sebagai sumber pokok ajaran Islam sesudah Al-Qur’an. Dalam tataran
aplikasinya, hadits dapat dijadikan hujjah keagamaan dalam kehidupan dan
menempati posisi yang sangat penting dalam kajian keislaman. Secara struktural
hadits merupakan sumber ajaran Islam setelah Al-Qur’an yang bersifat global.
Artinya, jika
kita tidak menemukan penjelasan tentang berbagai problematika kehidupan di
dalam Al-Qur’an, maka kita harus dan wajib merujuk pada hadits. Oleh karena
itu, hadits merupakan hal terpenting dan memiliki kewenangan dalam menetapkan
suatu hukum yang tidak termaktub dalam Al-Qur’an.
Ditinjau dari segi kualitasnya, hadits
terbagi menjadi dua, yaitu hadits Maqbul (hadits yang dapat diterima sebagai
dalil) dan haditst Mardud (hadits yang tertolak sebagai dalil). Hadits Maqbul
terbagi menjadi dua yaitu hadits Shahih dan Hasan, sedangkan yang termasuk
dalam hadits Mardud salah satunya adalah hadits Dha’if yang di dalamnya
terdapat hadits Maudhu’. Semuanya memiliki ciri dan kriteria yang berbeda.
Kualitas keshahihan suatu hadits merupakan
hal yang sangat penting, terutama hadits-hadits yang bertentangan dengan
hadits, atau dalil lain yang lebih kuat. Dalam hal ini, maka kajian makalah ini
diperlukan untuk mengetahui apakah suatu hadits dapat dijadikan hujjah
syar’iyyah atau tidak.
B.
Rumusan Masalah
Adapun dalam tugas ini akan dibahas beberapa masalah,
diantaranya:
1.
Apa pengertian
hadits Dhaif dan Maudhu’?
2.
Apa faktor-faktor
penyebab hadits Dhaif dan Maudhu’?
3.
Apa saja
macam-macam hadits Dhaif?
4.
Apa
saja kriteria hadits Maudhu’?
C.
Tujuan
Manfaat dari penulisan
makalah ini yaitu sebagai sarana untuk menambah ilmu pengetahuan yang telah
kita miliki terutama tentang ilmu hadits mengenai hadits Dhaif dan Maudhu’.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Hadits Dhaif
1.
Pengertian Hadits
Dhaif
Dhaif menurut lughat adalah lemah, lawan
dari qawi (yang kuat). Sedangkan
secara istilah yaitu:
مَالَمْ يَجْمَعْ صِفَةُ الْحَسَنِ,
بِفَقْدِ شَرْطِ مِنْ شُرُوْطِهِ.
“Apa yang sifat dari hadits hasan tidak tercakup (terpenuhi)
dengan cara hilangnya satu syarat dari syarat-syarat hadits hasan.”
Dengan demikian, jika hilang salah satu
kriteria saja, maka hadits itu menjadi tidak shahih atau tidak hasan.
Lebih-lebih jika yang hilang itu sampai dua atau tiga syarat maka hadits
tersebut dapat dinyatakan sebagai hadits dhaif yang sangat lemah. Oleh karena
itu, sebagian ulama tidak menjadikannya sebagai dasar hukum.
Adapun menurut Muhaditsin,
هُوَ كُلُّ حَدِ يْثٍ لَمْ
تَجْتَمِعْ فِيْهِ صِفَاتُ الْقَبُوْلِ. وَ قَالَ أَكْثَرُ الْعُلَمَاءِ هُوَ مَالَمْ
يَجْمَعْ صِفَةَ الصَّحِيْحِ وَالْحَسَنِ.
“Hadits dhaif adalah semua hadits yang
tidak terkumpul padanya sifat-sifat bagi hadits yang diterima menurut pendapat
kebanyakan ulama; hadits dhaif adalah yang tidak terkumpul padanya sifat hadits
shahih dan hasan”.
Contoh hadits dhaif adalah sebagai berikut:
مَا أَخْرَجَهُ التِّرْمِيْذِيْ
مِنْ طَرِيْقِ "حَكِيْمِ الأَثْرَمِ" عَنْ أَبِي تَمِيْمَةِ الهُجَيْمِيْ
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِيِّ ص م قَالَ: "مَنْ أَتَي حَائِضًا أَوْ
اِمْرَاةً فِي دُ بُوْرِهَا
أَوْ كَاهُنَا فَقَدْ كَفَرَبِمَا أَنْزَلَ عَلَى مُحَمَّدٍ."
“Apa yang diriwayatkan
oleh Tirmidzi dari jalur hakim Al-Atsrami dari Abi Tamimah Al-Hujaimi dari Abi
Hurairah dari Nabi Saw ia berkata: barang siapa yang menggauli wanita haid atau
seorang perempuan pada duburnya atau seperti ini maka sungguh ia telah
mengingkari dari apa yang telah diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw”.
Berkata Imam Tirmidzi
setelah mengeluarkan (takhrij) hadits ini: “kami tidak mengetahui hadits ini kecuali
hadits dari jalur hakim Al-Atsrami, kemudian hadits ini didhaifkan oleh
Muhammad dari segi sanad karena didalam sanadnya terdapat hakim Al-Atsrami
sebab didhaifkan pula oleh para ulama hadits”.
Berkata Ibnu Hajar mengenai
hadits ini di dalam kitab “Taqribut Tahdzib”: Hakim Al-Atsrami pada rawi
tersebut adalah seorang yang bermuka dua.
2.
Sebab-sebab Hadits Dhaif
Adapun penyebab kedhaifannya
karena beberapa hal:
1)
Sebab terputusnya sanad
Ketidakbersambungnya sanad, dikarenakan
adalah seorang rawi atau lebih, yang digugurkan atau saling tidak bertemu satu
sama lain.
2)
Sebab penyakit pada rawi
Terwujudnya cacat-cacat pada rawinya, baik
tentang keadilan maupun ke-dhabit-annya
(hafalan). Adapun cacat pada keadilan dan ke-dhabit-annya rawi itu ada sepuluh macam, yaitu sebagai berikut.
a.
Dusta
b.
Tertuduh dusta
c.
Fasik
d.
Banyak salah
e.
Lengah dalam menghafal
f.
Menyalahi riwayat
orang kepercayaan
g.
Banyak waham
(purbasangka)
h.
Tidak diketahui identitasnya
i.
Penganut bid’ah
j.
Tidak baik hafalannya
3.
Klasifikasi Hadits
Dhaif
a.
Dhaif karena tidak
bersambung sanadnya
1)
Hadits Mu’allaq
Mu’allaq,
menurut bahasa adalah isim maf’ul
yang berarti terikat dan tergantung. Sanad seperti ini disebut mu’allaq karena
hanya terikat dan tersambung pada bagian atas saja, sementara bagian bawahnya
terputus sehingga menjadi seperti sesuatu yang bergantung pada atap dan yang
semacamnya. Sementara itu, menurut istilah, hadits mu’allaq adalah hadits yang
seorang rawinya atau lebih gugur dari awal sanad secara berurutan.
Di
antara bentuknya adalah bila semua sanad digugurkan dan dihapus, kemudian
dikatakan, “Rasulullah bersabda…” atau dengan menggugurkan semua sanad, kecuali
seorang sahabat, atau seorang sahabat tabiin.
Contohnya:
Bukhari meriwayatkan dari Al-Majisyun dari Abdullah bin Fadhl dari Abu Salamah
dari Abu Hurairah r.a., dari Nabi Saw bersabda:
لَا تُفَاضِلُوْا بَيْنَ الْأَنْبِيَاءِ.
Janganlah kalian melebih-lebihkan di
antara para nabi.
Pada
hadits ini, Bukhari tidak pernah bertemu Al-Majisyun.
2)
Hadits Mu’dhal
Mu’dhal
secara bahasa adalah sesuatu yang dibuat lemah dan lebih. Disebut demikian,
mungkin karena para ulama hadits dibuat lelah dan letih untuk mengetahuinya
karena beratnya ketidakjelasan dalam hadits itu. Adapun menurut istilah muhaditsin, hadits mu’dhal adalah hadits
yang putus sanadnya dua orang atau lebih secara berurutan.
Contohnya
diriwayatkan oleh Al-Hakim dalam kitab Ma’rifat
Ulum Al-Hadits dengan sanadnya kepada Al-Qa’naby dari Malik bahwa dia
menyampaikan, bahwa Abu Hurairah berkata, “Rasulullah bersabda,
لِلْمَمْلُوْكِ صَعَامُهُ وَكِسْوَتُهُ بِالْمَعْرُوْفِ
وَلَايُكَلِّفُ مِنَ الْعَمَلِ إِلَّا مَا يُطِيْقُ.
Seorang hamba sahaya berhak
mendapatkan makanan dan pakaian sesuai kadarnya dengan baik dan tidak dibebani
pekerjaan, melainkan apa yang dia mampu mengerjakannya.
Al-Hakim
berkata, “Hadits ini mu’dhal dari Malik dalam kitab Al-Muwatha’.”
Hadits
ini yang kita dapatkan bersambung sanadnya pada kita, selain Al-Muwatha’, diriwayatkan dari Malik bin
Anas dari Muhammad bin ‘Ajlan, dari bapaknya, dari Abu Hurairah. Letak
ke-mu’dhalan-nya karena gugurnya dua perawi dari sanadnya, yaitu Muhammad bin
‘Ajlan dan bapaknya. Kedua rawi tersebut gugur secara berurutan.
3)
Hadits Mursal
Mursal,
menurut bahasa, isim maf’ul, yang
berarti ‘yang dilepaskan’. Adapun hadits mursal menurut istilah adalah hadits
yang gugur rawi dari sanadnya setelah tabiin, baik tabiin besar maupun tabiin
kecil. Yang dimaksud dengan gugur di sini, ialah nama sanad terakhir tidak
disebutkan. Padahal sahabat adalah orang yang pertama menerima hadits dari
Rasul Saw. Seperti bila seorang tabiin mengatakan, “Rasulullah Saw bersabda
begini atau berbuat seperti ini.”
Contoh
hadits mursal, Dari Malik, dari ‘Abdillah bin Abi Bakr bin Hazm, bahwa surat
yang Rasulullah saw. tulis kepada ‘Amr bin Hazm (tersebut): “Bahwa tidak
menyentuh Qur’an melainkan orang yang bersih”.
Seperti
telah kita ketahui bahwa dalam hadits mursal itu, yang digugurkan adalah
sahabat yang langsung menerima berita dari Rasulullah Saw, sedangkan yang
menggugurkan dapat juga seorang tabiin atau sahabat kecil. Oleh karena itu,
ditinjau dari segi siapa yang menggugurkan dan segi sifat-sifat pengguguran
hadits, hadits mursal terbagi menjadi tiga, yaitu sebagai berikut.
1.
Mursal Jali, yaitu
bila pengguguran yang telah dilakukan oleh rawi (tabiin) jelas sekali, dapat
diketahui oleh umum, bahwa orang yang menggugurkan itu tidak hidup sezaman
dengan orang yang digugurkan yang mempunyai berita.
2.
Mursal Shahabi,
yaitu pemberitaan sahabat yang disandarkan kepada Nabi Muhammad Saw, tetapi ia
tidak mendengar atau menyaksikan sendiri apa yang ia beritakan, Karena pada
saat Rasulullah hidup, ia masih kecil atau terakhir masuknya ke dalam agama
Islam. Hadits mursal shahabi ini dianggap shahih karena pada galib-nya ia tiada meriwayatkan selain
dari para sahabat, sedangkan para sahabat itu seluruhnya adil.
3.
Mursal Khafi,
yaitu hadits yang diriwayatkan tabiin, di mana tabiin yang meriwayatkan hidup
sezaman dengan shahabi, tetapi ia tidak pernah mendengar sebuah hadits pun
darinya.
4)
Hadits Munqathi
Hadits
munqathi’ adalah hadits yang gugur seorang rawinya sebelum sahabat di satu
tempat, atau gugur dua orang pada dua tempat dalam keadaan tidak
berturut-turut. Atau pada sanadnya disebutkan
nama seseorang yang tidak dikenal namanya.
Hadits
yang diriwayatkan oleh Abdurrazak dari ats-Tsauri dari Abi Ishak dari Zaid bin
Yutsai’i dari Hudzaifah secara marfu’: “Apabila kalian menyerahkan perkara itu
kepada Abu Bakar, maka ia adalah orang yang kuat lagi terpercaya.”
Dalam
hadits ini terdapat satu orang sanad yang gugur dan terletak di pertengahan
sanad. Ia adalah Syurik, yang gugur (dan letaknya) antara ats-Tsauri dan Abi
Ishak. Ats-Tsauri tidak mendengar secara langsung haditsnya dari Abu Ishak,
melainkan mendengarnya dari Syurik. Syurik mendengar haditsnya dari Abu Ishak.
Macam- macam pengguguran (inqitha’) sebagai berikut.
1.
Inqitha’ dilakukan
dengan jelas sekali, bahwa si rawi meriwayatkan hadits dapat diketahui tidak
sezaman dengan guru yang memberikan hadits padanya atau ia hidup sezaman dengan
gurunya, tetapi tidak mendapat ijazah (perizinan) untuk meriwayatkan haditsnya.
2.
Inqitha’ dilakukan
dengan samar-samar, yang hanya dapat diketahui oleh orang yang mempunyai
keahlian saja.
3.
Diketahui dari
jurusan lain, dengan adanya kelebihan seorang rawi atau lebih dalam hadits
riwayat orang lain.
5)
Hadits Mudallas
Hadits
mudallas adalah hadits yang diriwayatkan menurut cara yang diperkirakan bahwa
hadits itu tidak bernoda. Rawi yang berbuat demikian disebut mudallis. Hadits yang diriwayatkan oleh
mudallis disebut hadits mudallas, dan
perbuatannya disebut dengan tadlis.
Hadits
yang dikeluarkan Imam Ahmad (4/289), Abu Daud (5212) dan Tirmidzi (2727) dan
Ibnu Majah (3703) dari jalan periwayatan: Abu Ishaq as-Sabi’ie dari Baro’ bin Azib, dia berkata:
Rasulullah bersabda:
مَا
مِنْ مُسْلِمَيْنِ يَلْتَقِيَانِ فَيَتَصَافَحَانِ اِلَّاغُفِرَلَهُمَا قَبْلَ أَنْ
يَتَفَرَّقَا.
Tidaklah
dua orang muslim bertemu kemudian mereka berjabat tangan, kecuali mereka telah
diampuni dosa mereka sebelum berpisah.
Abu Ishaq as-Sabi’ie adalah Amr
bin Abdullah, dia adalah rawi yang tsiqah dan banyak meriwayatkan
hadits, hanya saja dia melakukan tadlis. Dia banyak mendengar hadits-hadits
dari Baro bin Azib radiyallahu 'anhu, namun hadits yang ia riwayatkan dari Baro
ini ia riwayatkan dengan lafadz yang muhtamal (berkemungkinan mendengar atau
tidak), dan dia tidak mendengar langsung dari Baro bin Azib. Dia hanya
mendengar dari Abu Daud al-A’ma,
yaitu namanya Nufa’i bin Harits, dia adalah rawi yang tidak dipakai dan
tertuduh dusta.
Di
antara yang menunjukkan hal tersebut adalah
bahwa Ibnu Abi Dunya mengeluarkan
hadits tersebut dalam kitab “al-Ikhwan” (hal: 172) dari jalan Abu Bakr Iyasy
dari Abu Ishaq dari Abu Daud yang mendengar dari baro
bin Azib dan
Imam Ahmad mengeluarkan hadits tersebut dalam Musnadnya (4/289) dari jalan: Malik bin Migwal dari Abu Daud dari Baro bin Azib. Maka hadits Abu Ishaq dari Baro bin Azib adalah hadits mudallas.
Imam Ahmad mengeluarkan hadits tersebut dalam Musnadnya (4/289) dari jalan: Malik bin Migwal dari Abu Daud dari Baro bin Azib. Maka hadits Abu Ishaq dari Baro bin Azib adalah hadits mudallas.
Macam-macam
tadlis sebagai berikut.
1.
Tadlis Isnad,
yaitu bila seorang rawi yang meriwayatkan suatu hadits dari orang yang pernah
bertemu dengan dia, tetapi rawi tersebut tidak pernah mendengar hadits darinya.
Agar rawi tersebut dianggap mendengar dari rawi yang digunakan, ia menggunakan lafadzh
menyampaikan hadits dengan ‘an fulanin
(dari si Fulan) atau anna fulanan yaqulu
(bahwa si Fulan berkata).
2.
Tadlis Syuyukh,
yaitu bila seorang rawi meriwayatkan sebuah hadits yang didengarkan dari
seorang guru dengan menyebutkan nama kuniyah-nya,
nama keturunannya, atau menyifati gurunya dengan sifat-sifat yang belum/tidak
dikenal oleh orang banyak.
3.
Tadlis Taswiyah
(Tajwid), yaitu bila seorang rawi meriwayatkan hadits dari gurunya yang tsiqah, yang oleh guru tersebut diterima
dari gurunya yang lemah, dan guru yang lemah ini menerima dari seorang guru tsiqah pula, tetapi si mudallis tersebut
meriwayatkan tanpa menyebutkan rawi-rawi yang lemah, bahkan ia meriwayatkan
dengan lafadzh yang mengandung pengertian bahwa rawinya tsiqah semua.
b.
Dhaif karena
tiadanya keadilan
1)
Hadits Maudhu’
Hadits
maudhu’ adalah,
هُوَ الْمُخْتَلَعُ الْمَصْنُوْعُ الْمَنْسُوْبُ
إِلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ زُوْرًا وَ بُهْتَانًا
سَوَاءٌ كَانَ ذَلِكَ عَمْدًا أَمْ خَطَأً.
Hadits yang dicipta serta dibuat oleh
seseorang (pendusta), yang ciptaan itu dinisbatkan kepada Rasulullah Saw secara
palsu dan dusta, baik disengaja maupun tidak.
2)
Hadits Matruk
Hadits
matruk adalah,
هُوَ الْحَدِ يْثُ الَّذِيْ فِى إِسْنَادِهِ رَاوٍمُتَّهَمٌ
بِا لْكَذِ بِ.
Hadits yang pada sanadnya ada seorang
rawi yang tertuduh dusta.
Rawi
yang tertuduh dusta adalah seorang rawi yang terkenal dalam pembicaraan sebagai
pendusta, tetapi belum dapat dibuktikan bahwa ia sudah pernah berdusta dalam
membuat hadits. Seorang rawi yang tertuduh dusta, bila ia bertaubat dengan
sungguh-sungguh, dapat diterima periwayatan haditsnya.
Contoh hadits matruk, “Telah datang kepadamu suku
Adzi, orang-orang yang paling bagus wajahnya, paling manis mulutnya, dan paling
sungguh-sungguh dalam perjumpaan.”
3)
Hadits Munkar
Hadits
munkar adalah hadits yang pada sanadnya terdapat rawi yang jelek kesalahannya,
banyak kelengahannya atau tampak kefasikannya. Lawannya dinamakan ma’ruf. Hadits munkar juga merupakan hadits yang diriwayatkan oleh orang yang lemah (perawi
yang dhaif) yang bertentangan dengan periwayatan orang yang lebih terpercaya.
Contoh
hadits munkar, “Permulaan bulan Ramadhan adalah rahmat, pertengahannya
adalah ampunan dan terakhirnya adalah pembebasan dari (siksa) neraka.”
c.
Dha’if karena
tiadanya dhabit
1)
Hadits Mudraj
Hadits mudraj adalah hadits yang menampilkan (redaksi)
tambahan, padahal bukan (bagian dari) hadits.
Contoh hadits
mudraj pada awal matan adalah hadits yang diriwayatkan oleh Al-Khathib
Al-Baghdadi dengan sanadnya dari Abu Hurairah:
اسبغوا
الوضوء ويل للاعقاب من النار.
Pada hadits
tersebut kalimat asbighu al-wudhu’a adalah kalimat Abu Hurairah sendiri.
2)
Hadits Maqlub
Hadits Maqlub
adalah hadits yang terbalik yaitu hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang
dalamnya tertukar dengan mendahulukan yang belakang atau sebaliknya baik
berupa sanad (silsilah) maupun matan (isi).
Contoh hadits
maqlub ini yang di matannya adalah hadits riwayat Muslim, sebagai berikut:
. . . ورجل تصدق بصدقة اخفاها حتى لاتعلم
يمينه ما تنفق شمال.
sebagaimana
terdapat dalam shahih حتى لا تعلم
شمله ماتنفق Padahal
seharusnya
Bukhari,
Muwatha’ dan selain keduanya.
3)
Hadits Mudhtharib
Hadits Mudhtharib
menurut As-Suyuthi yaitu: hadits yang diriwayatkan dengan bentuk yang
berbeda-beda padahal dari satu perawi, dua atau lebih, atau dari dua perawi
atau lebih yang berdekatan (dan tidak bisa ditarjih).
4)
Hadits Mushahhaf
Hadits
Mushahhaf yaitu terjadinya perubahan redaksi hadits dan maknanya.
Contoh tashif
al-matan ini adalah hadits Abu Ayyub Al-Anshary: Bahwasanya Nabi Saw bersabda:
“Siapa yang berpuasa Ramadhan kemudian diikuti dengan puasa 6 hari pada bulan
Syawal, maka ia seperti puasa sepanjang masa”.
Perkataan sittan
yang artinya enam oleh Abu Bakr Al-Shauly dirubah menjadi syaian yang berarti
sedikit. Dengan demikian rusaklah maknanya.
Adapun tashif pada
sanad misalnya saja nama sanad yang sesungguhnya Ibnu Al-Badzar diubah dengan
Ibnu Al-Nadzar.
5)
Hadits Muharraf
Yaitu hadits yang perbedaanya
terjadi disebabkan karena perubahan syakal kata dengan masih tetapnya bentuk
tulisannya.
ان النبي (ص) صلى الى العنزة Contoh pada makna:
Bahwa
Rasulullah Saw sembahyang pada anazah.
Abu Musa Muhammad
Ibn Al-Mutsanna menyangka, bahwa makna Al-‘Anazah tersebut adalah salah satu
suku masyhur Di Arab.
d.
Dha’if karena kejanggalan
dan kecacatan
1)
Hadits Syadz
Hadits syadz
adalah hadits yang diriwayatkan oleh seorang rawi yang maqbul, akan tetapi
bertentangan (matannya) dengan periwayatan dari orang yang kualitasnya lebih
utama.
Contoh
hadits syadz ini adalah “Kata abu Daud telah menceritakan kepada
kami, Ibnu-Sarah, telah menceritakan kepada kami, ibnu Wahb, telah mengabarkan
kepada kami, Yunus dari Ibnu Syihab, dari Amrah binti Abdirrahman, telah mengabarkan
dari Aisyah istri Nabi Saw, bahwa Rasulullah Saw berkurban untuk keluarga
Muhammad (istri-istrinya) pada haji wada’ seekor sapi betina.
2)
Hadits Mu’allal
Hadits yang
dinilai sakit atau cacat yaitu hadits yang di dalamnya terdapat cacat yang
tersembunyi.
Contoh hadits
mua’allal ini adalah hadits Ya’la bin ‘Ubaid: “Dari Sufyan Al-Tsauri, dari ‘Amr
Ibn Dinar dari Ibn Umar dari Nabi Saw ia bersabda,
البيعان بالخيار مالم يتفرقا.
Si
penjual dan si pembeli boleh memilih, selama belum berpisahan.
‘Illat ini
terdapat pada ‘Amr Ibn Dinar. Seharusnya bukan ia yang meriwayatkan, melainkan
‘Abdullah Ibn Dinar. Hal ini diketahui dari riwayat-riwayat lain yang juga
melalui sanad tersebut.
e.
Dha’if dari segi matan
Para
ahli hadits memasukkan ke dalam kelompok hadits dha’if dari sudut
persandarannya ini adalah hadits yang mauquf dan yang maqthu’.
1) Hadits Mauquf
Hadits mauquf
ialah hadits yang diriwayatkan dari para sahabat, baik berupa perkataan,
perbuatan, atau taqrirnya. Periwayatannya, baik bersambung atau tidak.
Dikatakan mauquf,
karena sandarannya terhenti pada thabaqah sahabat. Kemudian tidak dikatakan marfu’,
karena hadits ini tidak dirafa’kan atau disandarkan kepada Rasulullah Saw.
Ibnu Shalah
membagi hadits mauquf kepada dua bagian:
(a)
Mauquf al-maushul
(b)
Mauquf ghair al-maushul.
2)
Hadits Maqthu’
Hadits maqhtu’ yaitu hadits yang diriwayatkan dari tabi’in
dan disandarkan kepadanya, baik perkataan maupun perbuatannya”.
B.
Hadits
Maudhu’
1.
Pengertian Hadits
Maudhu’
وَضَعَ-يَضَعُ Hadits maudhu’ secara etimologis merupakan bentuk isim
maf’ul dari
الَتَّرْكُ memiliki beberapa makna, antara lain ‘menggugurkan’. Juga
bermakna ’وَضَعَ’ Kata
(mengada-ada dan membuat-buat).
اَلْإِفْتِرَاءُ وَ الْإخْتِلَاقُ (meninggalkan). Selain itu, juga
bermakna
Menurut istilah, hadits maudhu’ adalah pernyataan yang
dibuat oleh seseorang kemudian dinisbahkan kepada Rasulullah Saw secara palsu
dan dusta baik dengan sengaja atau tidak, dengan tujuan buruk atau baik
sekalipun.
Adapun
pengertian hadits maudhu’ menurut istilah para muhaditsin adalah:
هُوَ مَا نُسِبَ إلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى
االلهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إخْتِلَاقًا وَكِذْ بًا مِمَّالَمْ يَقُلْهُ
أَوْيَغْعَلْهُ أَوْيُقِرَّهُ.
Sesuatu yang
dinisbatkan kepada Rasulullah Saw secara mengada-ada dan dusta, yang tidak
beliau sabdakan, beliau kerjakan ataupun beliau taqrirkan.
Dengan pengertian tersebut, kita dapat menyimpulkan bahwa
hadits maudhu’ adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad Saw
baik perbuatan, perkataan maupun taqrirnya, secara rekaan atau dusta
semata-mata. Dalam penggunaan masyarakat Islam, hadits maudhu’ disebut juga
dengan hadits palsu.
Kata-kata yang biasa dipakai untuk hadits maudhu’ adalah al-mukhtalaqu, al-muhtala’u, al-mashnu,
dan al-makdzub. Kata tersebut
memiliki arti yang hampir sama. Pemakaian kata-kata tersebut adalah lebih
mengokohkan (ta’kid) bahwa hadits
semacam ini semata-mata dusta atas nama Rasul Saw.
Ulama
berbeda pendapat tentang sengaja atau tidaknya pembuatan hadits itu. Umar ibn
Hasan, Utsman Fallatah dan Mahmud Abu Rayyah menyatakan bahwa hadits maudhu’
itu dibuat baik dengan sengaja ataupun tidak. Abu Bakar Abd al-Shamad Abid, dan
Ibn Taymiyyah seperti dikutip Umar ibn Hasan Utsman Fallatah mengemukakan bahwa
hadits maudhu’ adalah hadits yang dibuat dengan sengaja dan kalau tidak, bukan
palsu.
2.
Kriteria Hadits
Maudhu’
Ke-maudhu’-an suatu
hadits dapat dilihat pada ciri-ciri yang terdapat pada sanad dan matan.
a.
Ciri-ciri yang
terdapat pada sanad
Terdapat
banyak ciri-ciri ke-maudhu’-an hadits yang terdapat pada sanad, diantaranya:
1)
Rawi tersebut
terkenal berdusta (seorang pendusta) yang tidak ada seorang rawi yang terpercaya
yang meriwayatkan hadits dari dia.
Contohnya, Abdurrahman bin Zaid bin
Aslam seorang yang terkenal suka berbohong dan mengada-ada. Dia pernah
mengatakan bahwa Rasulullah Saw bersabda: “Perahu Nabi Nuh mengitari Baitullah
dan melakukan shalat dua rakaat di belakang makam Ibrahim.”
2)
Pengakuan dari si
pembuat sendiri.
Contohnya, pengakuan dari ibn Abdu
Robbi al-Farisi yang telah memalsukan hadits-hadits keutamaan al-Qur’an.
3)
Ungkapan perawi
yang secara tidak langsung bermakna pengakuan.
Misalnya seorang perawi mengatakan
telah mendengar hadits dari seseorang padahal keduanya tidak hidup sezaman, dan
dia mengklaim bahwa hadits tersebut telah diambil dari orang tersebut.
Ketika Ma’mun Ibn Ahmad As-Sarawi
mengaku bahwa ia menerima hadits dari Hisyam Ibn Amr kepada Ibn Hibban maka
Ibnu Hibban bertanya, “Kapan engkau pergi ke Syam?” Ma’mun menjawab, “Pada tahun
250 H.” Mendengar itu, Ibnu Hibban berkata, “Hisyam meninggal dunia pada tahun
245 H.”
4)
Keadaan rawi dan
faktor-faktor yang mendorongnya membuat hadist maudhu’. Misalnya seperti yang
dilakukan Ghiyats bin Ibrahim seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.
b.
Ciri-ciri yang
terdapat pada matan
Terdapat
banyak pula ciri-ciri hadits maudhu’ yang terdapat dalam matan, di antaranya
sebagai berikut.
1)
Keburukan susunan
lafazhnya.
Jika terdapat kejanggalan dalam
redaksi, ini adalah hal yang mustahil keluar dari orang yang paling fasih,
yakni Nabi Muhammad SAW. Kaidah ini mudah dimengerti oleh orang-orang yang
menggeluti bidangnya. Karena, sebuah hadis, sebagaimana diaktakan oleh Ar-Rabi’
bin Jutsaim “terang bagaikan terangnya siang, bila anda mengenalnya. Tetapi,
kelam bagai gelap malam, bila anda tidak mengenalnya”.
Maksudnya, ciri ini akan diketahui
setelah kita mendalami ilmu Bayan. Dengan mendalami ilmu Bayan, kita akan
merasakan susunan kata, mana yang mungkin keluar dari mulut Nabi Saw, dan mana
yang tidak mungkin keluar dari mulut Nabi Saw.
2)
Kerusakan
maknanya.
(1)
Bertentangan
dengan akal sehat.
Seperti hadits: “Pakailah cincin
akik, karena bercincin akik dapat menghindarkan dari kekafiran.” Semua orang
akan bertanya, apa hubungannya antara kekafiran dan cincin akik?
Atau hadits, “Jika seseorang sedang
berbicara lalu ia bersin, maka ketahuilah bahwa ucapannya itu benar.” Apa
hubungannya antara bersin dan kebenaran ucapan seseorang?
(2)
Berlawanan dengan
hukum akhlak yang umum, atau menyalahi kenyataan
لَايُوْلَدُ بَعْدَ الْمِائَةِ مَوْلُوْدٌ
الِلّهِ فِيْهِ حَاجَةٌ.
Tiada
dilahirkan seorang anak sesudah tahun seratus, yang ada padanya keperluan bagi
Allah.
(3)
Bertentangan dengan
ilmu kedokteran.
اَلْبَاذِ نْجَانُ شِفَاءٌ مِنْ كُلِّ
شَيْءٍ.
Buah
terong itu penawar bagi segala penyakit.
(4)
Karena
mengandung dongeng-dongeng yang tidak masuk akal sama sekali, seperti hadits,
اَلدِّ يْكُ اْلأَبْيَضُ
حَبِيْبِيْ وَ حَبِيْبُ حَبِيْبِيْ.
Ayam putih kekasihku dan kekasih dari kekasihku Jibril.
(5)
Bertentangan
dengan keterangan Al-Quran atau hadits shahih serta ijma’.
Contoh hadits maudhu’ yang maknanya
bertentangan dengan Al-Quran adalah hadits,
وَلَدُ الزِّنَا لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ
إلَى سَبْعَةِ أَبْنَاءٍ.
Anak
zina itu tidak dapat masuk surga sampai tujuh turunan.
Makna hadits ini bertentangan dengan
kandungan Q.S. Al-An’am [6] ayat 164, yaitu:
وَلَاتَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَاى.
(الأنعام: ١٦٤ )
Dan seorang yang berdosa
tidak akan memikul dosa orang yang lain. (Q.S. Al-An’am [6]: 164)
Ayat
tersebut menjelaskan bahwa dosa seseorang tidak dapat dibebankan kepada orang
lain. Seorang anak sekalipun tidak dapat dibebani dosa orang tuanya.
(6)
Menerangkan suatu pahala yang sangat besar terhadap perbuatan-perbuatan
yang sangat kecil, atau siksa yang sangat besar terhadap suatu perbuatan yang
kecil.
Seperti hadits, “Barang siapa makan
bawang pada malam jum’at maka ia akan dilempar ke neraka hingga kedalaman tujuh
puluh tahun perjalanan.”
Atau, “Barang siapa puasa sunnah
sehari maka ia akan diberi pahala seperti melakukan seribu kali haji, seribu
umrah, dan mendapat pahala Nabi Ayub.”
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Hadits dhaif merupakan hadits yang di dalamnya tidak terdapat
syarat-syarat hadits shahih dan syarat-syarat hadits hasan. Hadits dhaif ini
memiliki penyebab mengapa bisa tertolak, di antaranya dengan sebab-sebab dari
segi sanad dan juga dari segi matan. Kriteria hadits dhaif adalah karena sanadnya ada yang tidak bersambung, kurang
adilnya perawi, kurang dhobitnya perawi dan ada syadz dalam hadits tersebut.
Hadits
maudhu’ merupakan buatan pendusta yang dinisbahkan pada Nabi Saw, padahal tidak
berasal darinya, maka pada hakikatnya bukan hadits tetapi pernyataan selain
Allah. Hadits maudhu’ merupakan hadits palsu sehingga tidak baik / cocok untuk
dijadikan sebuah landasan / pegangan dalam kehidupan sehari-hari untuk
menentukan suatu hukum.
DAFTAR PUSTAKA
Solahudin,
Agus dan Agus Suyadi. 2008. Ulumul Hadis.
Bandung: Pustaka Setia
http://sulfiana22.blogspot.com/2014/04/hadis-dhoif-beserta-contoh-contohnya.html
http://nhuroelkmuetz.blogspot.com/2012/01/makalah-hadis-maudhu.html
http://mugnisulaeman.blogspot.com/2013/03/makalah-hadits-shahih-hasan-dan-dhaif-serta-contohnya.html