Ahli-ahli
Ekonomi Islam dan Pemikirannya
Oleh Kel.2:
Cut Reni Anggreini, NIM: 140603210
Endah Oktavia, NIM: 140603220
Ervi Wanda Riski, NIM: 140603218
Dosen
Pembimbing:
Bismi Khalidin
S.Ag., M.Si.
JURUSAN PERBANKAN SYARIAH
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI AR-RANIRY
BANDA ACEH
KATA PENGANTAR
Kami panjatkan
puji dan syukur kehadirat Allah S.W.T atas segala rahmat dan karunia-Nya
sehingga Kami dapat menyelesaikan makalah untuk tugas mata kuliah Ekonomi Islam
yang berjudul “Ahli-ahli Ekonomi Islam dan Pemikirannya” tepat pada waktunya.
Kami mengucapkan terima kasih kepada
segenap pihak yang telah membantu memotivasi dan memberi masukan-masukan yang
bermanfaat sehingga Kami dapat membuat makalah ini dengan baik. Khususnya, Kami
ucapkan terima kasih kepada Bapak Bismi Khalidin selaku dosen mata kuliah
Ekonomi Islam yang telah memberi tugas makalah ini.
Kami menyadari
bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, untuk itu Kami mengharapkan kritik dan
saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini
bermanfaat untuk pembaca khususnya serta rekan-rekan mahasiswa pada umumnya.
Banda Aceh, 6 April 2015
Tim Penulis
DAFTAR ISI
Kata Pengantar i
Daftar Isi ii
Bab 1 Pendahuluan 1
A. Latar Belakang 1
B. Rumusan Masalah 1
C. Tujuan 1
Bab 2 Pembahasan 2
A. Kilasan Tokoh dan
Pemikirannya 2
B. Ahli- ahli Ekonomi
Islam dan Pemikirannya 2
1. Periode Pertama/Fondasi 2
2. Periode Kedua 5
3. Periode Ketiga 8
Bab 3 Penutup 10
A. Kesimpulan 10
B. Saran 10
Daftar Pustaka 11
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Ilmu ekonomi Islam sebagai sebuah studi ilmu pengetahuan modern baru
muncul pada tahun 1970-an, akan tetapi pemikiran tentang ekonomi Islam
telah muncul sejak Islam itu diturunkan melalui Nabi Muhammad Saw. Karena
rujukan utama pemikiran ekonomi Islam adalah
Al-Quran dan Hadist maka pemikiran ekonomi ini munculnya juga bersamaan
dengan diturunkannya Al-Quran dan masa
kehidupan Rasulullah Saw, pada abad
akhir 6 M hingga awal abad 7 M. Setelah masa
tersebut banyak sarjana Muslim yang
memberikan kontribusi karya pemikiran ekonomi. Karya-karya mereka sangat
berbobot, yaitu memiliki dasar argumentasi religius
dan sekaligus intelektual yang kuat serta -kebanyakan- didukung oleh
fakta empiris pada waktu itu. Banyak
diantaranya juga sangat futuristik dimana
pemikir-pemikir Barat baru mengkajinya ratusan abad kemudian.
Pemikiran dikalangan pemikir muslim banyak mengisi khasanah pemikir ekonomi
dunia pada masa dimana Barat masih dalam
kegelapan. Pada masa tersebut dunia Islam justru mengalami puncak kejayaan
dalam berbagai bidang.
B.
Rumusan
Masalah
Adapun dalam tugas ini akan dibahas
beberapa masalah, diantaranya:
1.
Siapa sajakah ahli-ahli pemikiran
ekonomi Islam?
2.
Apa-apa saja pemikiran yang
dikemukakan oleh para ahli ekonomi Islam?
C.
Tujuan
Manfaat dari penulisan makalah ini
yaitu sebagai sarana untuk menambah ilmu pengetahuan yang telah kita miliki
terutama tentang ahli-ahli ekonomi Islam dan pemikirannya.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Kilasan Tokoh dan Pemikirannya
Pemikiran ekonomi dalam Islam
bertitik tolak dari Al-Quran dan Hadist yang merupakan sumber dasar utama
syariat Islam. Oleh karena itu, sejarah pemikiran ekonomi Islam sesungguhnya
telah berawal sejak Al-Quran dan Hadist ada, yaitu pada masa kehidupan
Rasulullah Saw pada abad ke 7 Masehi. Pemikiran-pemikiran
sarjana Muslim pada masa berikutnya pada dasarnya berusaha
untuk mengembangkan konsep-konsep Islam
sesuai dengan situasi dan kondisi yang dihadapi, dengan tetap bersandar kepada Al-Quran
dan Hadist.
B.
Ahli- ahli
Ekonomi Islam dan Pemikirannya
Siddiqi telah membagi sejarah
pemikiran ini menjadi tiga periode, yaitu periode
pertama/ fondasi, periode kedua dan periode ketiga.
Periodesasi ini masih didasarkan pada kronologikal (urutan waktu)
semata, bukan berdasarkan kesamaan atau kesesuaian ide pemikiran. Hal ini
dilakukan karena studi tentang
sejarah pemikiran ekonomi Islam masih pada tahap eksplorasi
awal. Dalam buku ditambahkan periode kontemporer, pemikiran yang muncul sejak
tahun 1930-an hingga sekarang.
1.
Periode Pertama/Fondasi (Masa Awal Islam-450 H / 1058 M)
Pada periode
ini banyak sarjana Muslim yang
pernah hidup bersama para sahabat Rasulullah dan para Tabi’in sehingga dapat
memperoleh referensi ajaran Islam yang autentik.
a.
Abu Hanifah Al-Nu’man Ibn Sabit bin Zauti (80-150 H / 699-767 M)
Abu Hanifah
menyumbangkan beberapa konsep ekonomi, salah satunya adalah salam, yaitu suatu bentuk transaksi di mana antara
pihak penjual dan pembeli sepakat bila barang yang dibeli dikirimkan setelah
dibayar secara tunai pada waktu kontrak disepakati. Abu Hanifah mengkritisi prosedur kontrak tersebut yang cenderung mengarah
kepada perselisihan antara yang memesan barang dengan cara membayar lebih dulu,
dengan dengan orang yang membelikan barang. Beliau mencoba menghilangkan
perselisihan ini dengan merinci lebih jauh apa yang harus diketahui dan
dinyatakan dengan jelas di dalam kontrak. Beliau memberikan persyaratan bahwa
komoditas tersebut harus tersedia di pasar selama waktu kontrak dan waktu
pengiriman.
Abu Hanifah tidak membebaskan perhiasan dari zakat dan akan membebaskan
kewajiban membayar zakat bagi pemilik harta yang dililit hutang. Beliau tidak
memperbolehkan pembagian hasil panen dari penggarap kepada pemilik tanah dalam
kasus tanah yang tidak menghasilkan apapun. Hal ini dilakukan untuk melindungi
para penggarap yang umumnya orang lemah.
b.
Abu Yusuf (103-182 H / 731-798 M)
Abu Yusuf menekankan pentingnya sifat amanah dalam mengelola uang negara,
uang negara bukan milik khalifah, tetapi amanat Allah dan rakyatnya yang harus
dijaga dengan penuh tanggung jawab. Ia sangat menentang pajak atas tanah
pertanian dan mengusulkan penggantian sistem pajak tetap atas tanah menjadi
sistem pajak proporsional atas hasil pertanian. Sistem proporsional ini lebih
mencerminkan rasa keadilan serta mampu menjadi automatic stabilizer bagi
perekonomian sehingga dalam jangka panjang perekonomian tidak akan berfluktuasi
terlalu tajam.
Beliaun juga menekankan pentingnya prinsip keadilan, kewajaran, dan penyesuaian
terhadap kemampuan membayar dalam pengelolaan keuangan negara. Ia juga
membahas teknik dan sistem
pemungutan pajak, serta perlunya sentralisasi pengambilan keputusan dalam
administrasi perpajakan. Menurutnya, negara memiliki
peranan besar dalam menyediakan barang/fasilitas publik, yang di butuhkan dalam
pembangunan ekonomi, seperti: jalan, jembatan, bendungan dan irigasi. Dalam aspek mikro ekonomi, Abu Yusuf juga telah mengkaji bagaimana
mekanisme harga bekerja dalam pasar, kontrol harga, serta apakah pengaruh
berbagai perpajakan terhadapnya.
c. Muhammad bin
Al-Hasan Al-Shaybani (132-189 H / 750-804 M)
Buku pertama Al-Shaybani
banyak membahas berbagai aturan syariat tentang ijarah, tijarah, ziraah, dan
sinaah. Perilaku konsumsi ideal seorang Muslim menurutnya adalah sederhana,
suka memberikan derma (charity), tetapi tidak suka meminta-minta. Buku yang
kedua membahas berbagai bentuk transaksi/kerja sama usaha
dalam bisnis, misalnya salam, sharikah, dan mudharabah.
Buku-buku yang ditulis Muhammad bin Al-Hasan ini mengandung tinjauan normatis
sekaligus positif, sebagaimana karya kebanyakan sarjana Muslim.
d.
Abu Ubayd Al-Qasim Ibn Sallam (w.224 H / 838 M)
Buku yang
berjudul Al-Amwal ditulis oleh Abu Ubayd merupakan suatu buku yang
membahas keuangan publik/kebijakan fiskal secara
komprehensif. Di dalamnya dibahas
secara mendalam tentang hak dan kewajiban negara,
pengumpulan dan penyaluran zakat, khums, kharaj, fay, dan berbagai
sumber penerimaan negara lainnya.
Buku ini juga kaya dengan paparan sejarah ekonomi negara Islam
pada masa dua abad sebelumnya, selain juga merupakan kompendium yang
autentik tentang kehidupan ekonomi negara Islam pada
masa Rasulullah Saw.
e.
Harith bin Asad Al-Muhasibi (w.243
H / 859 M)
Harith bin
Asad Al-Muhasibi menulis buku berjudul Al-Makasib yang membahas
cara-cara memperoleh pendapatan sebagai mata pencaharian melalui perdagangan,
industri dan kegiatan ekonomi produktif lainnya. Pendapatan ini harus diperoleh
secara baik dan tidak melampaui batas / berlebihan. Laba dan upah tidak boleh
dipungut atau dibayarkan secara zalim, sementara menarik diri dari kegiatan
ekonomi bukanlah sikap Muslim yang benar-benar Islami. Harith menganjurkan agar
masyarakat harus saling bekerja sama dan mengutuk sikap pedagang yang melanggar
hukum (demi mencari keuntungan).
f.
Ibn Miskwaih (w.421 H / 1030 M)
Ibn Miskwaih banyak
membahas tentang pertukaran barang dan jasa serta peranan uang. Menurutnya,
manusia adalah makhluk sosial yang saling membutuhkan satu sama lainnya untuk
memenuhi kebutuhan barang dan jasa. Karenanya, manusia akan melakukan
pertukaran barang dan jasa dengan kompensasi yang pas. Dalam melakukan
pertukaran uang akan berperan sebagai alat penilai dan penyeimbang dalam
pertukaran, sehingga dapat tercipta keadilan. Ia juga banyak membahas kelebihan
uang emas (dinar) yang dapat diterima secara luas dan menjadi substitusi bagi
semua jenis barang dan jasa. Hal ini dikarenakan emas merupakan logam yang
sifatnya: tahan lama, mudah dibawa, tidak mudah ditiru, dikehendaki dan
digemari banyak orang.
g.
Mawardi (w.450 H / 1058 M)
Pemikiran
Mawardi tentang ekonomi terutama dalam bukunya yang berjudul, Al-Ahkam
al-Sulthoniyyah dan Adab al-Din wa’l Dunya. Buku yang pertama banyak
membahas tentang pemerintahan dan administrasi, berisi tentang: kewajiban
pemerintah, penerimaan dan pengeluaran negara, tanah (negara dan
masyarakat), hak prerogatif negara untuk menghibahkan
tanah, kewajiban negara untuk mengawasi pasar, dan lain-lain.
Terdapat tugas muhtasib untuk mengawasi pasar, menjamin ketepatan timbangan dan
berbagai ukuran lainnya, serta mencegah penyimpangan transaksi dagang dan
pengrajin dari ketentuan syariah.
Buku yang
kedua banyak membahas tentang perilaku ekonomi Muslim secara individual. Buku
ini menyampaikan ajaran-ajaran tasawuf tentang budi luhur individu dalam
perekonomian yang meliputi empat mata pencaharian utama, yaitu: pertanian,
peternakan, perdagangan dan industri. Selain itu, buku ini juga membahas
perilaku-perilaku yang dapat merusak budi luhur, antara lain: ketamakan dalam
menimbun kekayaan dan menuntut kekuasaan. Mawardi juga membahas tentang
berbagai hukum syariat dari mudharabah dalam karyanya, Al-Hawi
al-Mudharabah.
2.
Periode Kedua (450-850 H / 1058-1446 M)
Pemikiran
ekonomi pada masa ini banyak dilatarbelakangi oleh menjamurnya korupsi dan
dekadensi moral, serta melebarnya kesenjangan antara golongan miskin dan kaya,
meskipun secara umum kondisi perekonomian masyarakat Islam berada dalam taraf
kemakmuran. Para pemikir ini memang berkarya dalam berbagai bidang ilmu yang
luas, tetapi ide-ide ekonominya sangat cemerlang dan berwawasan ke depan.
Berikut ini beberapa pokok pikiran mereka.
a.
Al-Ghazali (451-505 H / 1055-1111 M)
Dalam
pandangan Al-Ghazali, kegiatan ekonomi merupakan amal kebajikan yang dianjurkan
oleh Islam. Kegiatan ekonomi harus ditujukan mencapai maslahah untuk memperkuat
sifat kebijaksanaan, kesederhanaan, dan keteguhan hati manusia.
Bagi
Al-Ghazali, pasar merupakan bagian dari “keteraturan alami”. Dalam Al-Ihya’,
ia menerangkan bagaimana evolusi terciptanya pasar. Al-Ghazali telah
mendiskusikan kerugian dari sistem barter dan pentingnya uang sebagai alat
tukar dan pengukur nilai barang dan jasa. Uang bukanlah
komoditas sehingga dapat diperjualbelikan. Memperjualbelikan uang ibarat
memenjarakan uang, sebab hal ini akan mengurangi jumlah uang yang berfungsi
sebagai alat tukar. Ia menyatakan bahwa pemalsuan uang (maghsyusy)
sangat berbahaya karena dampaknya yang berantai, bahkan lebih berbahaya
daripada pencurian uang.
Menurut Al-Ghazali, kesejahteraan (maslahah) dari suatu masyarakat
tergantung kepada pencarian dan pemeliharaan lima tujuan dasar: (1) agama (al-dien),
(2) hidup atau jiwa (nafs), (3) keluarga atau keturunan (nasl),
(4) harta atau kekayaan (maal), dan (5) intelek atau akal (aql).
Ia
menitikberatkan bahwa sesuai tuntunan wahyu, “kebaikan dunia ini dan akhirat (maslahat
al-din wa al-dunya) merupakan tujuan utamanya”.
Tambahan pula,
Al-Ghazali memandang perkembangan ekonomi sebagai bagian dari tugas-tugas
kewajiban social (fard al-kifayah) yang sudah ditetapkan Allah. Dan ia
bersikeras bahwa pencaharian hal-hal ini harus dilakukan secara efisien, karena
perbuatan demikian merupakan bagian dari pemenuhan tugas keagamaan seseorang.
Al-Ghazali juga banyak menyoroti kegiatan-kegiatan bisnis yang dilarang
atau diperbolehkan
dalam pandangan Islam. Ia juga menganggap bahwa korupsi dan penindasan
merupakan faktor yang dapat menyebakan penurunan ekonomi, karenanya pemerintah harus memberantasnya. Pemerintah tidak diperbolehkan
memungut pajak melebihi ketentuan syariat, kecuali jika sangat terpaksa.
b.
Ibn Taimiyah (661-728 H / 1263-1328 M)
Menurut Ibn
Taimiyah, penawaran bisa datang dari produksi domestic dan impor. Perubahan
dalam penawaran digambarkan sebagai peningkatan atau penurunan dalam jumlah
barang yang ditawarkan, sedangkan permintaan sangat ditentukan oleh selera dan
pendapatan. Besar kecilnya kenaikan harga bergantung pada besarnya perubahan
penawaran atau permintaan.
Ibn Taimiyah
telah membahas pentingnya suatu persaingan dalam pasar yang bebas, peranan
“market supervisor” dan lingkup dari peranan negara. Negara harus
mengimplementasikan aturan main yang Islami sehingga produsen, pedagang, dan
para agen ekonomi lainnya dapat melakukan transaksi secara jujur dan fair.
Negara juga harus menjamin pasar berjalan secara bebas dan terhindar dari
praktik-praktik pemaksaan, manipulasi dan eksploitasi yang memanfaatkan pasar
sehingga persaingan dapat berjalan dengan sehat. Selain itu, negara bertanggung
jawab atas pemenuhan kebutuhan dasar dari rakyat.
Banyak juga
aspek mikro yang dikaji oleh Ibn Taimiyah, misalnya tentang beban pajak tidak
langsung yang dapat digeserkan oleh penjual (yang seharusnya membayar pajak
ini) kepada pembeli dalam bentuk harga beli yang tinggi. Dalam hal uang, ia
telah mengingatkan risiko yang dimungkinkan timbul jika menggunakan standar
logam ganda (sebagaimana kemudian dikenal sebagai Gresham’s Law di Barat). Hal lain yang dibahas adalah peranan demand dan supply terhadap
penentuan harga serta konsep harga ekuivalen yang menjadi dasar penentuan
keuntungan yang wajar.
c. Ibn Khaldun (732-808 H / 1332-1404 M)
Secara umum Ibn Khaldun sangat menekankan pentingnya suatu sistem pasar
yang bebas. Ia menentang intervensi negara terhadap masalah ekonomi dan percaya
akan efisiensi sistem pasar bebas. Ia juga telah membahas tahap-tahap
pertumbuhan dan penurunan perekonomian di mana dapat saja berbeda antara satu
negara dengan negara lainnya. Jika pengeluaran dan pendapatan suatu negara
seimbang serta jumlahnya besar, maka akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi. ia
juga menekankan pentingnya demand side economics khususnya
pengeluaran pemerintah untuk mencegah kemerosotan bisnis dan menjaga
pertumbuhan ekonomi. Dalam situasi kemerosotan ekonomi, pajak harus
dikurangi dan pemerintah harus meningkatkan pengeluarannya untuk merangsang
pertumbuhan ekonomi.
Ibn Khaldun
menekannkan pentingnya ide-ide baru dalam praktik industri dan kerajinan, serta
menganggap bahwa ekspansi pasar merupakan masalah yang krusial dalam hal ini.
Dalam hal penawaran tenaga kerja ia berpendapat bahwa jika tingkat upah berada
di atas titik tertentu maka penawaran tenaga kerja justru akan menurun,
sebagaimana dikenal sebagai backward sloping supply curve dalam teori
ekonomi modern.
Ketika
menyinggung masalah laba, Ibn Khaldun mengatakan bahwa keuntungan yang wajar
akan mendorong tumbuhnya perdagangan. Sedangkan keuntungan yang sangat rendah
akan membuat lesu perdagangan karena pedagang kehilangan motivasi. Sebaliknya
bila pedagang mengambil keuntungan yang sangat tinggi, hal ini juga akan
melesukan perdagangan karena permintaan konsumen akan melemah.
d. Nasiruddin
Tusi (w.485 H / 1093 M)
Tusi menyatakan bahwa spesialisasi dan pembagian tenaga kerja telah
menciptakan surplus ekonomi sehingga memungkinkan terciptanya kerja sama dalam
masyarakat untuk saling menyediakan barang dan jasa kebutuhan hidup. Hal ini
merupakan tuntunan alamiah, sebab seseorang tidak bisa menyediakan semua
kebutuhannya sendiri sehingga menimbulkan ketergantungan satu dengan lainnya.
Akan tetapi, jika proses ini dibiarkan secara alamiah, kemungkinan manusia akan
saling bertindak tidak adil dan menuruti kepentingannya sendiri-sendiri. Oleh
karena itu, diperlukan suatu strategi (siyasah/politik) yang mendorong manusia
untuk saling bekerja sama untuk mencapai kesejahteraan masyarakat.
Tusi sangat
menekankan pentingnya tabungan dan mengutuk konsumsi yang berlebihan serta
pengeluaran-pengeluaran untuk asset-aset yang tidak produktif. Ia memandang
pentingnya pembangunan pertanian sebagai fondasi pembangunan ekonomi secara
keseluruhan dan untuk menjamin kesejahteraan masyarakat. Ia juga merekomendasikan
pengurangan pajak, di mana berbagai pajak yang tidak sesuai dengan syariah
Islam harus dilarang.
3. Periode Ketiga
(850-1350 H / 1446-1932 M)
Dalam periode
ketiga ini kejayaan pemikiran, dan juga dalam bidang lainnya, dari umat Islam
sebenarnya telah mengalami penurunan. Namun demikian, terdapat beberapa
pemikiran ekonomi yang berbobot selama dua ratus tahun terakhir, sebagaimana
tampak dalam karya dari:
a. Shah Waliullah
(1114-1176 H / 1703-1762 M)
Menurut Shah
Waliullah, manusia secara alamiah adalah makhluk sosial sehingga harus
melakukan kerja sama antara satu orang lainnya. Beliau juga menekankan perlunya
pembagian faktor-faktor ekonomi yang bersifat alamiah secara lebih merata,
misalnya tanah. Untuk pengelolaan negara, maka diperlukan adanya suatu
pemerintahan yang mampu menyediakan sarana pertahanan, membuat hukum dan
menegakkannya, menjamin keadilan, serta menyediakan berbagai sarana public
seperti jalan dan jembatan. Untuk berbagai keperluan ini negara dapat memungut
pajak dari rakyatnya.
Berdasarkan
pengamatannya terhadap perekonomian di Kekaisaran Mughal India, Waliullah
mengemukakan dua faktor utama yang menyebabkan penurunan pertumbuhan ekonomi.
Dua faktor tersebut yaitu: pertama, keuangan negara dibebani dengan
berbagai pengeluaran yang tidak produktif; kedua, pajak yang dibebankan
kepada pelaku ekonomi terlalu berat sehingga menurunkan semangat berekonomi.
Menurutnya, perekonomian dapat tumbuh jika terdapat tingkat pajak yang ringan
yang didukung oleh administrasi yang efisien.
b.
Muhammad Iqbal (1289-1356 H /
1873-1938 M)
Keadilan social merupakan aspek
yang mendapat perhatian besar dari Iqbal, dan ia menyatakan bahwa negara
memiliki tugas yang besar untuk mewujudkan keadilan sosial ini. Zakat, yang
hukumnya wajib dalam Islam, dipandang memiliki posisi yang strategis bagi
penciptaan masyarakat yang adil.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Pemikiran
ekonomi Islam adalah respon para pemikir Muslim terhadap tantangan-tantangan
ekonomi pada masa mereka. Pemikiran ekonomi tersebut diilhami dan dipandu oleh
ajaran Al-Quran sunnah, ijtihad (pemikiran) dan pengalaman empiris mereka.
Objek kajian dalam pemikiran ekonomi Islam bukanlah ajaran tentang ekonomi,
tetapi pemikiran para ilmuwan Islam tentang ekonomi dalam sejarah atau
bagaimana mereka memahami ajaran Al-Quran dan sunnah tentang ekonomi.
Meskipun para pemikir tersebut
tidak hidup pada masa yang sama, tetapi mereka memiliki pemikiran yang sama
tentang ekonomi Islam dan bahkan saling keterkaitan antara pemikiran yang satu
dengan lainnya. Ini menunjukkan bahwa ahli-ahli ini menggunakan pedoman
Al-Quran dan Hadist -yang merupakan sumber ajaran Islam- dalam mengutarakan
pendapatnya.
B.
Saran
Dengan selesainya makalah ini kami
sadar bahwasanya makalah kami ini masih jauh dari kesempurnaan, karena masih
banyak kekurangan dan kesalahan baik dari segi materi pembahasan maupun ejaan
kata. Maka dari itu kami mengharapkan adanya saran dan kritik yang membangun
dari pembaca agar di kemudian hari kami dapat menyusun makalah lebih baik lagi.
Harapan kami makalah ini dapat bermanfaat untuk menambah wawasan mengenai
ahli-ahli ekonomi Islam dan pemikirannya.
DAFTAR PUSTAKA
Karim, Adiwarman A. 2007. Ekonomi Mikro Islami. Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada.
Misanam, Munrokhim, dkk. Cet. ke-4: 2012. Ekonomi
Islam (P3EI). Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
0 komentar:
Posting Komentar