Peran Manusia terhadap Kehidupan Sosial dan Budaya dalam Pandangan Islam
Oleh:
Endah Oktavia
140603220
Dosen Pembimbing:
Tabrani. ZA, S.Pd.I., M.S.I
JURUSAN
PERBANKAN SYARIAH
FAKULTAS
EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI AR-RANIRY
BANDA ACEH
KATA PENGANTAR
Sesungguhnya
segala puji bagi Allah, kita memuji-Nya, memohon pertolongan dari-Nya, meminta
ampunan dari-Nya dan meminta perlindungan kepada-Nya dari kejahatan diri kita
serta keburukan amal perbuatan kita. Shalawat dan salam semoga terlimpahkan
kepada junjungan kita Nabi Muhammad Saw.
Karena hidayah-Nya
pula, Alhamdulillah, penulis dapat menyelesaikan makalah dengan judul “Peran
Manusia terhadap Kehidupan Sosial dan Budaya dalam Pandangan Islam” ini sebagai
tugas dari mata kuliah Metodologi Studi Islam tepat pada waktunya. Pada
kesempatan ini saya ucapkan terima kasih kepada bapak Tabrani selaku dosen mata
kuliah Metodologi Studi Islam yang telah banyak memberikan bimbingan dan
pengarahan sehingga makalah ini dapat selesai tepat pada waktunya.
Akhirnya
penulis mohon kritik dan saran untuk lebih sempurnanya makalah ini. Selanjutnya
penulis berharap makalah yang sederhana ini bermanfaat bagi pembaca, terutama
bagi yang membutuhkannya.
Banda Aceh, 24
Januari 2015
Penulis
DAFTAR ISI
Kata Pengantar i
Daftar Isi ii
Bab 1 Pendahuluan 1
A.
Latar Belakang 1
B.
Rumusan Masalah 2
C.
Tujuan 2
Bab 2 Pembahasan 3
A. Agama dan Kehidupan 3
B. Sosial Bagian
dari Manusia dalam Pandangan Islam 6
C. Kebudayaan
Bagian dari Manusia dalam Pandangan Islam 8
D. Peran Manusia
Terhadap Kehidupan Sosial dan Budaya dalam Pandangan Islam 11
Bab 3 Penutup 14
Kesimpulan 14
Daftar Pustaka 15
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Kehidupan manusia sangatlah komplek,
begitu pula hubungan yang terjadi pada manusia sangatlah luas. Hubungan
tersebut dapat terjadi antara manusia dengan manusia, manusia dengan alam,
manusia dengan makhluk hidup yang ada di alam, dan manusia dengan Sang Pencipta.
Setiap hubungan tersebut harus berjalan seimbang.
Manusia juga harus bersosialisasi
dengan lingkungan, yang merupakan pendidikan awal dalam suatu interaksi sosial.
Hal ini menjadikan manusia harus mempunyai ilmu pengetahuan yang berlandaskan
ketuhanan. Karena dengan ilmu tersebut manusia dapat membedakan antara yang hak
dengan yang bukan hak, antara kewajiban dan yang bukan kewajiban. Sehingga
norma-norma dalam lingkungan berjalan dengan harmonis dan seimbang. Agar
norma-norma tersebut berjalan haruslah manusia di didik dengan berkesinambungan
dari “dalam ayunan hingga ia wafat”, agar hasil dari pendidikan -yakni sosial dan kebudayaan- dapat diimplementasikan dimasyarakat.
Pendidikan sebagai hasil sosial dan budaya
haruslah dipandang sebagai “motivator” terwujudnya kebudayaan yang tinggi.
Selain itu pendidikan haruslah dibarengi dengan memasukkan nilai-nilai atau
aturan-aturan sesuai dengan agama terutama agama Islam serta memberikan
kontribusi terhadap sosial dan kebudayaan, agar sosial dan kebudayaan yang dihasilkan memberi
nilai manfaat bagi manusia itu sendiri khususnya maupun bagi bangsa pada
umumnya dan sesuai dengan apa-apa yang telah diperintahkan oleh Allah SWT.
Dengan demikian dapat kita katakan
bahwa kualitas manusia pada suatu negara akan tinggi dan akan menghasilkan sosial dan kebudayaan yang tinggi. Karena diikutsertakan pandangan-pandangan
yang sesuai dan benar di dalamnya.
B. Rumusan Masalah
Adapun
dalam tugas ini akan dibahas beberapa masalah, diantaranya:
1.
Bagaimana hubungan agama
dengan kehidupan?
2.
Bagaimana manusia sebagai
makhluk sosial dalam pandangan Islam?
3.
Bagaimana hubungan manusia
dengan kebudayaan dalam pandangan Islam?
4.
Bagaimana peran manusia
terhadap kehidupan sosial dan budaya dalam pandangan Islam?
C. Tujuan
Makalah ini dibuat dengan tujuan sebagai pemenuhan
tugas Metodologi Studi Islam sekaligus sebagai literatur tambahan bagi
mahasiswa atau pembaca yang ingin menambah wawasan yang mencakup peran manusia terhadap
kehidupan sosial dan budaya dalam pandangan Islam.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Agama dan Kehidupan
Kehidupan beragama pada dasarnya merupakan kepercayaan terhadap keyakinan
adanya kekuatan gaib, luar biasa atau supernatural yang berpengaruh terhadap
kehidupan individu dan masyarakat, bahkan terhadap segala gejala alam.
Kepercayaan itu menimbulkan perilaku tertentu, seperti berdoa, memuja dan
lainnya, serta menimbulkan sikap mental tertentu, seperti rasa takut, rasa
optimis, pasrah, dan lainnya dari individu dan masyarakat yang mempercayainya. Karenanya
keinginan, petunjuk, dan ketentuan kekuatan gaib harus dipatuhi kalau manusia
dan masyarakat ingin kehidupan ini berjalan dengan baik dan selamat. Kepercayaan
agama yang bertolak dari kekuatan gaib ini tampak aneh, tidak alamiah dan tidak
rasional dalam pandangan individu dan masyarakat modern yang terlalu
dipengaruhi oleh pandangan bahwa sesuatu diyakini ada kalau konkret, rasional,
alamiah atau terbukti secara empirik dan ilmiah.[1]
Namun demikian, kehidupan beragama adalah kenyataan hidup manusia yang
ditemukan sepanjang sejarah masyarakat dan kehidupan pribadinya. Adanya aturan
terhadap individu dalam kehidupan bermasyarakat, berhubungan dengan alam
lingkungannya, atau dalam berhubungan dengan Tuhan juga ditemukan di setiap
masyarakat, di mana dan kapan pun. Adanya aturan kehidupan yang dipercayai
berasal dari Tuhan juga termasuk ciri kehidupan beragama.[2]
Agama atau minimal pendekatan
keagamaan adalah cara yang efektif dalam membentuk kepribadian dan kebudayaan.
Baik beragama sebagai sistem sosial budaya atau sebagai subsistem yang
universal dan berbagai tipe penampilan serta penghayatannya di kalangan kelompok-kelompok
masyarakat, dari yang sekedar untuk mencari kesejukan sampai kepada tidak
merasa bersalah ketika melakukan tindakan teror terhadap masyarakat yang tidak
berdosa, menjadikannya sangat penting dipahami oleh setiap individu dan lembaga
yang berurusan dengan masyarakat.[3]
Agama mempunyai
peraturan yang mutlak berlaku bagi segenap manusia dan bangsa, dalam semua
tempat dan waktu, yang dibuat oleh sang pencipta alam semesta sehingga
peraturan yang dibuat-Nya betul-betul adil. Secara terperinci agama memiliki
peranan yang bisa dilihat dari: aspek keagamaan (religius), kejiwaan
(psikologis), kemasyarakatan (sosiologis), hakikat kemanusiaan (human nature),
asal usulnya (antropologis) dan moral (ethics).
Dari aspek
religius, agama menyadarkan manusia, siapa penciptanya. Faktor keimanan juga
mempengaruhi karena iman adalah dasar agama. Secara antropologis, agama
memberitahukan kepada manusia tentang siapa, dari mana, dan mau ke mana
manusia. Dari segi sosiologis, agama berusaha mengubah berbagai bentuk
kegelapan, kebodohan, kemiskinan dan keterbelakangan. Agama juga menghubungkan
masalah ritual ibadah dengan masalah sosial. Secara psikologis, agama bisa
menenteramkan, menenangkan, dan membahagiakan kehidupan jiwa seseorang. Dan
secara moral, agama menunjukkan tata nilai dan norma yang baik dan buruk, dan
mendorong manusia berperilaku baik (akhlaq mahmudah).
Geertz mengungkap betapa kompleks dan mendalamnya kehidupan beragama. Agama
tampak tumbang tindih dengan kebudayaan (Geertz 1992). Kemudian kompleksitas
dan luasnya ruang lingkup ajaran agama dapat dilihat dalam ajaran Islam.
Sebagai wahyu yang terakhir, Islam adalah ajaran yang komprehensif dan terpadu.
Aspek hukum dari ajaran Islam juga tidak hanya mencakup hubungan dengan Allah
(ibadat) saja, tetapi juga hubungan dengan sesama manusia (sosial) dan alam
lingkungan.[4]
Namun dalam fenomena sosial budaya, dalam kenyataan hidup umat Islam di
zaman modern ini, kehidupan beragama menjadi menciut akibat pengaruh
modernisasi dan sekularisme.
Antropologi klasik memahami gejala kehidupan beragama sebagai kebudayaan
suatu masyarakat. Agama dipahami sebagai human creation, human made.
Agama dilihat sebagai:
1. ekspresi simbolis dari kehidupan manusia yang
dengannya manusia menafsirkan dirinya dan universe di sekelilingnya;
2. yang memberikan motif bagi perbuatan manusia;
dan
3. sekumpulan tindakan yang berhubungan satu sama
lain yang punya nilai-nilai yang melangsungkan kehidupan manusia.
Sumber utama ilmu agama adalah wahyu dan kitab suci yang dipahami dengan
metode tertentu yang diakui dalam agama itu sendiri, seperti ijtihad dalam
penelitian ajaran Islam. Tentu saja kajian seseorang secara teologis
dipengaruhi oleh posisinya dalam agama tersebut. Kajian teologis yang dilakukan
oleh penganut agama yang bersangkutan tentu akan berbeda dengan hasil kajian
seseorang yang tidak menganut agama yang dikajinya menurut pandangan agama
tersebut. Bahkan, yang terakhir, menurut ahli agama yang bersangkutan, tidak
kompeten untuk melakukan kajian teologis. Seharusnya kajian teologis juga tidak
terpengaruh oleh mazhab atau aliran yang dianut oleh ilmuwan yang bersangkutan.
Yang harus digalinya adalah bagaimana ajaran Tuhan tentang masalah yang
dihadapi. Kalau ajaran Tuhan yang diteliti, pandangan mazhab tertentu, termasuk
mazhab atau aliran yang dianutnya, harus dikesampingkan. Akan tetapi keharusan
tersebut sering tidak tercapai karena manusia, termasuk para ilmuwan, biasa
dipengaruhi oleh latar belakang sejarah dan sosialnya.[5]
B. Sosial Bagian dari Manusia dalam Pandangan Islam
Secara etimologis, term “Islam” berasal dari bahasa Arab terambil dari kata
salima yang berarti selamat, sentosa, dan, damai. Dari kata salima
berubah menjadi aslama yang berarti berserah diri masuk dalam kedamaian.
Dengan demikian, dari sisi kebahasaan, Islam berarti patuh, tunduk,
taat, hutang, balasan, dan berserah diri dalam upaya mencari keselamatan dan
kebahagiaan di dunia dan di akhirat.
Secara terminologis, Islam adalah agama yang ajaran-ajarannya diwahyukan
Tuhan kepada manusia melalui Nabi Muhammad Saw sebagai rasul. Maulana Muhammad
Ali (1980) menyimpulkan bahwa Islam adalah agama perdamaian yang memiliki dua
ajaran pokok, yaitu keesaan Tuhan dan persaudaraan umat manusia yang selaras
namanya.
Berdasarkan keterangan di atas maka kata Islam adalah mengacu pada
agama yang bersumber dari wahyu yang datang dari Allah SWT, bukan dari manusia
atau Nabi Muhammad Saw.
Dengan demikian secara terminologis Islam adalah nama bagi suatu agama yang
berasal dari Allah SWT. Islam bukan nama yang diberikan manusia tetapi oleh
Allah SWT sendiri. Dilihat dari konteks misi ajarannya, Islam adalah agama
sepanjang zaman/sejarah manusia. Agama dari seluruh nabi dan rasul sejak Adam
as. sampai Muhammad Saw.[6]
Sosial merupakan segala perilaku
manusia yang menggambarkan hubungan nonindividualis. Istilah tersebut sering
disandingkan dengan cabang-cabang kehidupan manusia dan masyarakat di manapun.
Sosial ini merujuk pada
hubungan-hubungan manusia dalam kemasyarakatan, hubungan antar manusia,
hubungan manusia dengan kelompok, serta hubungan manusia dengan organisasi
untuk mengembangkan dirinya. Manusia merupakan makhluk sosial karena setiap
manusia tidak bisa hidup sendirian, seseorang membutuhkan orang lain untuk
mendukung hidupnya.
Hubungan agama dan organisasi
sosial adalah bagian yang cukup penting dalam kebudayaan manusia. Manusia
adalah makhluk sosial. Durkheim mengatakan solidaritas itu direkat oleh agama.
Dengan banyaknya ritual dan yang sakral dalam agama tersebut, manusia menghilangkan kepentingan pribadinya dan larut
dalam kepentingan bersama. Solidaritas yang tumbuh dari pertalian darah,
kesukuan, dan agama, dalam pandangan modern adalah ikatan tradisional[7].
Ikatan masyarakat modern didasarkan hubungan bisnis, kepada ikatan kesamaan
profesi, kepentingan, dan kebangsaan. Namun, hubungan sosial modern ini
merupakan hubungan bisnis dan hubungan formal. Hubungan ini tidak akrab, tidak
mendalam, tidak hangat dan kurang serasa sepenanggungan.[8]
Sudah disebutkan bahwa agama, di samping sebagai sebuah keyakinan, juga
merupakan gejala sosial. Artinya, agama yang dianut melahirkan berbagai
perilaku sosial, yakni perilaku yang tumbuh dan berkembang dalam sebuah
kehidupan bersama. Kadang-kadang perilaku tersebut saling memengaruhi satu sama
lain. Norma-norma dan nilai-nilai agama diduga sangat berpengaruh terhadap
perilaku sosial.[9]
Karakteristik ajaran Islam dapat dilihat dari ajarannya di bidang sosial.
Ajaran Islam di bidang sosial ini termasuk yang paling menonjol karena seluruh
bidang ajaran Islam ditujukan untuk kesejahteraan manusia. Dalam bidang sosial
ini Islam menjunjung tinggi tolong-menolong, saling menasihati tentang hak dan
kesabaran, kesetiakawanan, kesamaan derajat, tenggang rasa dan kebersamaan.
Kualitas dan ketinggian derajat seseorang ditentukan oleh ketakwaannya yang
ditunjukkan oleh prestasi kerjanya yang bermanfaat bagi manusia. Atas dasar
ukuran ini, maka dalam Islam semua orang memiliki kesempatan yang sama.[10]
C.
Kebudayaan Bagian
dari Manusia dalam Pandangan Islam
Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa sangsekerta yaitu buddhayah,
yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau
akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia.
Dalam
arti terminologi budaya adalah sebuah sistem yang memiliki
koherensi. Menurut E.B Taylor (1987) kebudayaan meliputi pengetahuan,
kepercayaan, seni, moral hukum, adat istiadat, pembawaan lain yang di peroleh
dari anggota masyarakat yang terbentuk dari anggota masyarakat yang terbentuk
dari pemahaman suatu bangsa.
Manusia mempunyai tingkatan yang lebih tinggi karena selain
mempunyai sebagaimanaa makhluk hidup di atas, manusia juga mempunyai akal yang
dapat memperhitungkan tindakannya yang kompleks melalui proses belajar yang
terus-menerus. Selain itu manusia dikatakan pula sebagai makhluk budaya. Budaya
diartikan sebagai pikiran atau akal budi.
Berdasarkan pengertian-pengertian
di atas, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa budaya adalah sesuatu bagian
dari manusia tidak akan pernah terpisahkan, karena tabiat manusia itu sendiri
adalah berbudaya. Kenapa begitu? Jika kita melihat arti manusia secara bahasa,
yakni dari kata manu, memiliki arti berfikir, berakal budi. Dan
budaya sendiri dalam arti bahasa berarti akal atau budi. sehingga jika kita
menarik garis lurus antara arti kata manusia dan budaya, maka kita akan
mendapatkan dua kata kunci, yakni akal dan budi. hal ini menunjukkan
keterkaitan diantara keduanya.
Masyarakat adalah orang yang hidup
bersama yang menghasilkan kebudayaan. Jadi, tidak ada masyarakat yang tidak
mempunyai kebudayaan dan sebaliknya tidak ada kebudayaan tanpa masyarakat
sebagai wadah dan pendukungnya. Walaupun secara teoritis dan untuk kepentingan
analitis, kedua persoalan tersebut dapat dibedakan dan dipelajari secara
terpisah[11].
Dengan demikian, kebudayaan adalah
keseluruhan dari kehidupan manusia yang terpola dan didapatkan dengan belajar
atau yang diwariskan kepada generasi berikutnya, baik yang masih dalam pikiran,
perasaan dan hati pemiliknya, maupun yang sudah lahir dalam bentuk tindakan dan
benda. Kebudayaan dilestarikan oleh pemiliknya dengan mewariskannya kepada
generasi berikutnya melalui pendidikan formal, informal dan nonformal; dengan
berusaha mempertahankannya dan infiltrasi kebudayaan asing; dengan
mengembangkannya; dengan mendokumentasikannya dalam buku, foto-foto, museum,
rekaman, dan lainnya; atau melakukan gerakan kultural secara bersama dan
berorganisasi.[12]
Pengertian kebudayaan sebagai
pedoman memungkinkan para warga masyarakat saling berkomunikasi tanpa salah
paham. Karena dengan menggunakan kebudayaan yang sama sebagai acuan untuk
bertindak, setiap pelaku yang berkomunikasi bisa meramalkan apa yang diinginkan
oleh pelaku yang dihadapinya. Begitu juga dengan menggunakan simbol-simbol dan
tanda-tanda yang secara bersama-sama dipahami makna-maknanya. Pada tingkat
individual, kebudayaan yang dimiliki masyarakat menjadi pengetahuan bagi para
pelakunya. Pengetahuan kebudayaan tersebut dapat berbeda satu sama lain,
tergantung pengalaman dan kemampuannya masing-masing dalam menjawab setiap
tantangan.[13]
Kebudayaan tidak mudah berubah.
Jika setiap pedoman bagi kehidupan tersebut berubah, kehidupan manusia menjadi
kacau. Mekanisme yang menahan perubahan-perubahan kebudayaan tadi adalah
nilai-nilai budaya itu sendiri. Sebab, nilai-nilai budaya itu berisikan
keyakinan-keyakinan yang menjadi pedoman bagi kehidupan masyarakat. Selain itu,
bertahan atau tidaknya suatu nilai budaya disebabkan oleh kuat dan mendalamnya
keyakinan-keyakinan keagamaan yang mengejawantah dalam bentuk kebudayaan.
Sebab, pada saat nilai-nilai budaya suatu kebudayaan itu berintikan atau
berasaskan keyakinan agama, ia bersifat sakral dan suci.[14]
Karakteristik ajaran Islam dalam
bidang ilmu dan kebudayaan bersikap terbuka, akomodatif, dan juga selektif.
Dari satu segi Islam terbuka dan akomodatif untuk menerima berbagai masukan
dari luar, tetapi bersamaan dengan itu Islam juga selektif, yakni tidak begitu
saja menerima seluruh jenis ilmu dan kebudayaan, melainkan ilmu dan kebudayaan
yang sejalan dengan Islam. Bagaimanapun, Islam adalah sebuah paradigma terbuka.
Ia merupakan mata rantai peradaban dunia.[15]
Karakteristik Islam dalam bidang
ilmu pengetahuan dan kebudayaan tersebut dapat pula dilihat dari 5 ayat pertama
surah Al-Alaq yang diturunkan Tuhan kepada Nabi Muhammad Saw. Islam demikian
kuat mendorong manusia agar memiliki ilmu pengetahuan dengan cara menggunakan
akalnya untuk berpikir, merenung, dan sebagainya. Islam menempuh cara demikian,
karena dengan ilmu pengetahuan tersebut seseorang dapat meningkatkan kualitas
dirinya untuk meraih berbagai kesempatan dan peluang. [16]
Apabila manusia sudah dapat
mempertahankan diri dan menyesuaikan diri pada alam, juga kalau dia telah dapat
hidup dengan manusia-manusia lain dalam suasana damai. Maka, timbullah
keinginan manusia untuk menciptakan sesuatu untuk menyatakan perasaan dan
keinginannya kepada orang lain, halmana juga merupakan fungsi kebudayaan. Hal
ini bertujuan untuk mengatur hubungan antara manusia, akan tetapi untuk
mewujudkan perasaan-perasaan seseorang. Dengan demikian, fungsi kebudayaan
sangat besar bagi manusia, yaitu untuk melindungi diri terhadap alam, mengatur
hubungan antar-manusia dan sebagai wadah segenap perasaan manusia.[17]
D.
Peran Manusia
Terhadap Kehidupan Sosial dan Budaya dalam Pandangan Islam.
Manusia merupakan makhluk
yang paling sempurna bila dibanding dengan makhluk lainnya, mempunyai kewajiban
dan tanggung jawab untuk mengelola bumi. Karena manusia diciptakan untuk
menjadi khalifah, sebagaimana dijelaskan pada surat Al-Baqarah: 30 yang artinya: Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat:
“Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.”
Dalam bukunya berjudul Perspektif Manusia dan Agama, Murthada
Muthahhari mengatakan bahwa di saat berbicara tentang para nabi, Imam Ali as.
menyebutkan bahwa mereka diutus untuk mengingatkan manusia kepada perjanjian
yang telah diikat oleh fitrah mereka, yang kelak mereka akan pula diucapkan
oleh lidah, melainkan terukir dengan pena ciptaan Allah di permukaan kalbu dan
lubuk fitrah manusia, dan di atas permukaan hati nurani serta di kedalaman
perasaan batiniah[18].
Oleh karena itu manusia
harus menguasai segala sesuatu yang berhubungan dengan kekhalifahannya
disamping tanggung jawab dan etika moral harus dimiliki.
Akhlak menjadi
penyebab punahnya suatu bangsa, dikarenakan jika akhlak suatu bangsa sudah
terabaikan, maka peradaban dan budaya bangsa tersebut akan hancur dengan
sendirinya. Oleh karena itu untuk menjadi manusia yang berbudaya, harus
memiliki ilmu pengetahuan, tekhnologi, budaya dan industrialisasi serta akhlak
yang tinggi (tata nilai budaya) sebagai suatu kesinambungan yang saling
bersinergi.
Hommes
mengemukakan bahwa, informasi IPTEK yang bersumber dari sesuatu masyarakat lain
tak dapat lepas dari landasan budaya masyarakat yang membentuk informasi
tersebut. Karenanya di tiap informasi IPTEK selalu terkandung isyarat-isyarat
budaya masyarakat asalnya. Selanjutnya dikemukakan juga bahwa, karena
perbedaan-perbedaan tata nilai budaya dari masyarakat pengguna dan masyarakat
asal teknologinya, isyarat-isyarat tersebut dapat diartikan lain oleh
masyarakat penerimanya.
Disinilah
peran manusia sebagai makhluk yang diberi kelebihan dalam segala hal, untuk
dapat memanfaatkan segala fasilitas yang disediakan oleh Allah SWT melalui alam
ini. Sehingga dengan alam tersebut manusia dapat membentuk suatu kebudayaan
yang bermartabat dan bernilai tinggi. Namun perlu digarisbawahi bahwa setiap
kebudayaan akan bernilai tatkala manusia sebagai masyarakat mampu melaksanakan
norma-norma yang ada sesuai dengan tata aturan agama. Ajaran
Islam yang demikian telah mendorong umatnya untuk mengerahkan segala daya dan
upaya bagi kebaikan dan kesejahteraan umat manusia, termasuk dalam pengembangan
kebudayaan. Upaya-upaya tersebut kemudian telah menghasilkan suatu prestasi
peradaban baru yang tinggi yang dikenal dengan “peradaban Islam” yang dalam
sejarahnya telah memberikan andil yang cukup besar bagi kemajuan peradaban
dunia. Ayat-ayat Alquran memang banyak memberikan dorongan kepada umat manusia
bagi pengembangan kebudayaan. Motivasi yang diberikan Alquran dan
hadis nabi dalam hal pengembangan budaya dalam sejarah Islam terbukti telah
menghasilkan pretasi budaya yang luar biasa. Puncaknya sebagaimana terlihat
pada masa Abbasiah yang kemudian dikenal dengan kebudayaan Islam. Prestasi
demikian didukung oleh peran penguasa Islam (khalifah), yang memberikan
perhatian terhadap pengembangan budaya. Para ilmuwan sangat dilindungi,
diberikan perhatian yang istimewa oleh para penguasa tanpa memandang latar
belakang ilmuwan tersebut: apakah beragama Islam atau tidak, bangsa Arab atau
tidak. Tidak hanya itu, orang-orang yang kaya yang memiliki harta berlimpah
juga umumnya sangat menaruh perhatian yang cukup besar dalam hal pengembangan
budaya. Sebagian harta mereka digunakan untuk pengembangan budaya. Dengan
kata lain segenap elemen masyarakat terlibat dan mendukung dalam hal
pengembangan ilmu dan budaya. Kondisi demikianlah yang menyebabkan umat Islam
berhasil menjadi bangsa yang besar bangsa yang memiliki prestasi luar biasa
dalam melahirkan budaya, yang dikenal dengan kebudayaan Islam. Kebudayaan ini
sesungguhnya lahir dari kemampuan umat Islam dalam mengembangkan berbagai
budaya yang telah berkembang dan mapan pada masa sebelumnya, terutama
kebudayaan Romawi, dan Persia.
Kebudayaan
yang dikembangkan oleh umat Islam tersebut meliputi berbagai bidang keilmuwan,
seperti Medis, Astronomi, Fisika, Matematika, arsitektur, dan ilmu-ilmu lain di
samping ilmu agama. Ilmuwan-ilmuwan yang sangat berjasa dalam pengembangan ilmu
tersebut di antaranya adalah Ibn Rusyd, Al-Farabi, Al-Kindi (Filosof), Ibn Sina
(kedokteran), Al-Mawardi (tata negara), Al-Biruni (Fisika), Al-Khawarizmi, Umar
Khayyam (matematika), dan lain-lain.
Kebudayaan Islam pada masa itu dianggap sebagai yang spektakuler sungguh
prestasi budaya yang sangat tinggi di saat kebudayaan lain,khususnya Eropa
masih dalam tahap kemunduran .
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa sosial dan budaya harus
disertai dengan adanya agama. Dengan begitu, akan ada peraturan-peraturan yang
dapat membuat masyarakat hidup dengan adil, damai, dan bebas. Pada
hakikatnya manusia adalah makhluk yang berakal, berbudi, dan berbudaya.
Peran manusia sangat penting terhadap kehidupan bersosial budaya tersebut,
karena tanpa adanya andil manusia, maka tidak akan terlaksananya suatu hubungan
baik antar-manusia, manusia dengan alam, maupun manusia dengan Tuhannya, dengan
cara tetap menjaga, melaksanakan dan melestarikannya.
Sosial dan budaya merupakan hasil cipta, karsa, rasa manusia
yang diperoleh dari perkembangan manusia sebagai masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Agus, Bustanuddin. 2006. Agama dalam Kehidupan Manusia (Pengantar
Antropologi Agama), Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Maman, U, dkk. 2006. Metodologi Penelitian Agama (Teori dan Praktik),
Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Nata, Abuddin. 1998. Metodologi Studi Islam, Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada.
Soekanto, Soerjono. 1990. Sosiologi (Suatu Pengantar), Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada.
Tabrani. 2013. Pengantar Metodologi Studi Islam, Banda Aceh: SCAD
Independent.
http://kukuh30.blogspot.com/2012/06/ilmu-budaya-dasar-hakekatmanusia.html
0 komentar:
Posting Komentar