Jumat, 16 Desember 2016

Makalah: Hadits Dhaif dan Hadits Maudhu’

Hadits Dhaif dan Hadits Maudhu’

Oleh:
Endah Oktavia
140603220

Dosen Pembimbing:
Tarmizi M Daud S.Ag., M.Ag.







JURUSAN PERBANKAN SYARIAH
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI AR-RANIRY

BANDA ACEH



KATA PENGANTAR

Penulis panjatkan puji dan syukur kehadirat Allah S.W.T atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga Penulis dapat menyelesaikan makalah untuk tugas mata kuliah Ulumul Hadits yang berjudul “Hadits Dhaif dan Hadits Maudhu’” tepat pada waktunya.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada segenap pihak yang telah membantu memotivasi dan memberi masukan-masukan yang bermanfaat sehingga Penulis dapat membuat makalah ini dengan baik. Khususnya, Penulis ucapkan terima kasih kepada Bapak Tarmizi M Daud selaku dosen mata kuliah Ulumul Qur’an dan Hadits yang telah memberi tugas makalah ini.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, untuk itu Penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini bermanfaat untuk pembaca khususnya serta rekan-rekan mahasiswa pada umumnya.




Banda Aceh, 30 Desember 2014

Penulis



DAFTAR ISI

Kata Pengantari
Daftar Isiii
Bab 1 Pendahuluan1
A.    Latar Belakang1
B.     Rumusan Masalah2
C.     Tujuan2
Bab 2 Pembahasan3
A.    Hadits Dhaif3
1. Pengertian Hadits Dhaif3
2. Sebab-sebab Hadits Dhaif4
3. Klasifikasi Hadits Dhaif5
B.     Hadits Maudhu’15
1. Pengertian Hadits Maudhu’15
2. Kriteria Hadits Maudhu’16
Bab 3 Penutup20
Kesimpulan20
Daftar Pustaka21

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hadits, oleh umat Islam diyakini sebagai sumber pokok ajaran Islam sesudah Al-Qur’an. Dalam tataran aplikasinya, hadits dapat dijadikan hujjah keagamaan dalam kehidupan dan menempati posisi yang sangat penting dalam kajian keislaman. Secara struktural hadits merupakan sumber ajaran Islam setelah Al-Qur’an yang bersifat global. Artinya, jika kita tidak menemukan penjelasan tentang berbagai problematika kehidupan di dalam Al-Qur’an, maka kita harus dan wajib merujuk pada hadits. Oleh karena itu, hadits merupakan hal terpenting dan memiliki kewenangan dalam menetapkan suatu hukum yang tidak termaktub dalam Al-Qur’an.
Ditinjau dari segi kualitasnya, hadits terbagi menjadi dua, yaitu hadits Maqbul (hadits yang dapat diterima sebagai dalil) dan haditst Mardud (hadits yang tertolak sebagai dalil). Hadits Maqbul terbagi menjadi dua yaitu hadits Shahih dan Hasan, sedangkan yang termasuk dalam hadits Mardud salah satunya adalah hadits Dha’if yang di dalamnya terdapat hadits Maudhu’. Semuanya memiliki ciri dan kriteria yang berbeda.
Kualitas keshahihan suatu hadits merupakan hal yang sangat penting, terutama hadits-hadits yang bertentangan dengan hadits, atau dalil lain yang lebih kuat. Dalam hal ini, maka kajian makalah ini diperlukan untuk mengetahui apakah suatu hadits dapat dijadikan hujjah syar’iyyah atau tidak.



B. Rumusan Masalah
Adapun dalam tugas ini akan dibahas beberapa masalah, diantaranya:
1.      Apa pengertian hadits Dhaif dan Maudhu’?
2.      Apa faktor-faktor penyebab hadits Dhaif dan Maudhu’?
3.      Apa saja macam-macam hadits Dhaif?
4.      Apa saja kriteria hadits Maudhu’?

C. Tujuan
Manfaat dari penulisan makalah ini yaitu sebagai sarana untuk menambah ilmu pengetahuan yang telah kita miliki terutama tentang ilmu hadits mengenai hadits Dhaif dan Maudhu’.



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Hadits Dhaif
1.      Pengertian Hadits Dhaif
Dhaif menurut lughat adalah lemah, lawan dari qawi (yang kuat). Sedangkan secara istilah yaitu:
مَالَمْ يَجْمَعْ صِفَةُ الْحَسَنِ, بِفَقْدِ شَرْطِ مِنْ شُرُوْطِهِ.
“Apa yang sifat dari hadits hasan tidak tercakup (terpenuhi) dengan cara hilangnya satu syarat dari syarat-syarat hadits hasan.”
Dengan demikian, jika hilang salah satu kriteria saja, maka hadits itu menjadi tidak shahih atau tidak hasan. Lebih-lebih jika yang hilang itu sampai dua atau tiga syarat maka hadits tersebut dapat dinyatakan sebagai hadits dhaif yang sangat lemah. Oleh karena itu, sebagian ulama tidak menjadikannya sebagai dasar hukum.
Adapun menurut Muhaditsin,
هُوَ كُلُّ حَدِ يْثٍ لَمْ تَجْتَمِعْ فِيْهِ صِفَاتُ الْقَبُوْلِ. وَ قَالَ أَكْثَرُ الْعُلَمَاءِ هُوَ مَالَمْ يَجْمَعْ صِفَةَ الصَّحِيْحِ وَالْحَسَنِ.

“Hadits dhaif adalah semua hadits yang tidak terkumpul padanya sifat-sifat bagi hadits yang diterima menurut pendapat kebanyakan ulama; hadits dhaif adalah yang tidak terkumpul padanya sifat hadits shahih dan hasan”.
Contoh hadits dhaif adalah sebagai berikut:
مَا أَخْرَجَهُ التِّرْمِيْذِيْ مِنْ طَرِيْقِ "حَكِيْمِ الأَثْرَمِ" عَنْ أَبِي تَمِيْمَةِ الهُجَيْمِيْ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِيِّ ص م قَالَ: "مَنْ أَتَي حَائِضًا أَوْ
اِمْرَاةً فِي دُ بُوْرِهَا أَوْ كَاهُنَا فَقَدْ كَفَرَبِمَا أَنْزَلَ عَلَى مُحَمَّدٍ."


“Apa yang diriwayatkan oleh Tirmidzi dari jalur hakim Al-Atsrami dari Abi Tamimah Al-Hujaimi dari Abi Hurairah dari Nabi Saw ia berkata: barang siapa yang menggauli wanita haid atau seorang perempuan pada duburnya atau seperti ini maka sungguh ia telah mengingkari dari apa yang telah diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw”.
Berkata Imam Tirmidzi setelah mengeluarkan (takhrij) hadits ini: “kami tidak mengetahui hadits ini kecuali hadits dari jalur hakim Al-Atsrami, kemudian hadits ini didhaifkan oleh Muhammad dari segi sanad karena didalam sanadnya terdapat hakim Al-Atsrami sebab didhaifkan pula oleh para ulama hadits”.
Berkata Ibnu Hajar mengenai hadits ini di dalam kitab “Taqribut Tahdzib”: Hakim Al-Atsrami pada rawi tersebut adalah seorang yang bermuka dua.
2.      Sebab-sebab Hadits Dhaif
Adapun penyebab kedhaifannya karena beberapa hal:
1)      Sebab terputusnya sanad
Ketidakbersambungnya sanad, dikarenakan adalah seorang rawi atau lebih, yang digugurkan atau saling tidak bertemu satu sama lain.
2)      Sebab penyakit pada rawi
Terwujudnya cacat-cacat pada rawinya, baik tentang keadilan maupun ke-dhabit-annya (hafalan). Adapun cacat pada keadilan dan ke-dhabit-annya rawi itu ada sepuluh macam, yaitu sebagai berikut.


a.       Dusta
b.      Tertuduh dusta
c.       Fasik
d.      Banyak salah
e.       Lengah dalam menghafal
f.        Menyalahi riwayat orang kepercayaan
g.      Banyak waham (purbasangka)
h.      Tidak diketahui identitasnya
i.        Penganut bid’ah
j.        Tidak baik hafalannya

3.      Klasifikasi Hadits Dhaif
a.       Dhaif karena tidak bersambung sanadnya
1)      Hadits Mu’allaq
Mu’allaq, menurut bahasa adalah isim maf’ul yang berarti terikat dan tergantung. Sanad seperti ini disebut mu’allaq karena hanya terikat dan tersambung pada bagian atas saja, sementara bagian bawahnya terputus sehingga menjadi seperti sesuatu yang bergantung pada atap dan yang semacamnya. Sementara itu, menurut istilah, hadits mu’allaq adalah hadits yang seorang rawinya atau lebih gugur dari awal sanad secara berurutan.
Di antara bentuknya adalah bila semua sanad digugurkan dan dihapus, kemudian dikatakan, “Rasulullah bersabda…” atau dengan menggugurkan semua sanad, kecuali seorang sahabat, atau seorang sahabat tabiin.
Contohnya: Bukhari meriwayatkan dari Al-Majisyun dari Abdullah bin Fadhl dari Abu Salamah dari Abu Hurairah r.a., dari Nabi Saw bersabda:
لَا تُفَاضِلُوْا بَيْنَ الْأَنْبِيَاءِ.
Janganlah kalian melebih-lebihkan di antara para nabi.
Pada hadits ini, Bukhari tidak pernah bertemu Al-Majisyun.
2)      Hadits Mu’dhal
Mu’dhal secara bahasa adalah sesuatu yang dibuat lemah dan lebih. Disebut demikian, mungkin karena para ulama hadits dibuat lelah dan letih untuk mengetahuinya karena beratnya ketidakjelasan dalam hadits itu. Adapun menurut istilah muhaditsin, hadits mu’dhal adalah hadits yang putus sanadnya dua orang atau lebih secara berurutan.
Contohnya diriwayatkan oleh Al-Hakim dalam kitab Ma’rifat Ulum Al-Hadits dengan sanadnya kepada Al-Qa’naby dari Malik bahwa dia menyampaikan, bahwa Abu Hurairah berkata, “Rasulullah bersabda,
لِلْمَمْلُوْكِ صَعَامُهُ وَكِسْوَتُهُ بِالْمَعْرُوْفِ وَلَايُكَلِّفُ مِنَ الْعَمَلِ إِلَّا مَا يُطِيْقُ.
Seorang hamba sahaya berhak mendapatkan makanan dan pakaian sesuai kadarnya dengan baik dan tidak dibebani pekerjaan, melainkan apa yang dia mampu mengerjakannya.
Al-Hakim berkata, “Hadits ini mu’dhal dari Malik dalam kitab Al-Muwatha’.”
Hadits ini yang kita dapatkan bersambung sanadnya pada kita, selain Al-Muwatha’, diriwayatkan dari Malik bin Anas dari Muhammad bin ‘Ajlan, dari bapaknya, dari Abu Hurairah. Letak ke-mu’dhalan-nya karena gugurnya dua perawi dari sanadnya, yaitu Muhammad bin ‘Ajlan dan bapaknya. Kedua rawi tersebut gugur secara berurutan.
3)      Hadits Mursal
Mursal, menurut bahasa, isim maf’ul, yang berarti ‘yang dilepaskan’. Adapun hadits mursal menurut istilah adalah hadits yang gugur rawi dari sanadnya setelah tabiin, baik tabiin besar maupun tabiin kecil. Yang dimaksud dengan gugur di sini, ialah nama sanad terakhir tidak disebutkan. Padahal sahabat adalah orang yang pertama menerima hadits dari Rasul Saw. Seperti bila seorang tabiin mengatakan, “Rasulullah Saw bersabda begini atau berbuat seperti ini.”
Contoh hadits mursal, Dari Malik, dari ‘Abdillah bin Abi Bakr bin Hazm, bahwa surat yang Rasulullah saw. tulis kepada ‘Amr bin Hazm (tersebut): “Bahwa tidak menyentuh Qur’an melainkan orang yang bersih”.
Seperti telah kita ketahui bahwa dalam hadits mursal itu, yang digugurkan adalah sahabat yang langsung menerima berita dari Rasulullah Saw, sedangkan yang menggugurkan dapat juga seorang tabiin atau sahabat kecil. Oleh karena itu, ditinjau dari segi siapa yang menggugurkan dan segi sifat-sifat pengguguran hadits, hadits mursal terbagi menjadi tiga, yaitu sebagai berikut.
1.      Mursal Jali, yaitu bila pengguguran yang telah dilakukan oleh rawi (tabiin) jelas sekali, dapat diketahui oleh umum, bahwa orang yang menggugurkan itu tidak hidup sezaman dengan orang yang digugurkan yang mempunyai berita.
2.      Mursal Shahabi, yaitu pemberitaan sahabat yang disandarkan kepada Nabi Muhammad Saw, tetapi ia tidak mendengar atau menyaksikan sendiri apa yang ia beritakan, Karena pada saat Rasulullah hidup, ia masih kecil atau terakhir masuknya ke dalam agama Islam. Hadits mursal shahabi ini dianggap shahih karena pada galib-nya ia tiada meriwayatkan selain dari para sahabat, sedangkan para sahabat itu seluruhnya adil.
3.      Mursal Khafi, yaitu hadits yang diriwayatkan tabiin, di mana tabiin yang meriwayatkan hidup sezaman dengan shahabi, tetapi ia tidak pernah mendengar sebuah hadits pun darinya.
4)      Hadits Munqathi
Hadits munqathi’ adalah hadits yang gugur seorang rawinya sebelum sahabat di satu tempat, atau gugur dua orang pada dua tempat dalam keadaan tidak berturut-turut. Atau pada sanadnya disebutkan nama seseorang yang tidak dikenal namanya.
Hadits yang diriwayatkan oleh Abdurrazak dari ats-Tsauri dari Abi Ishak dari Zaid bin Yutsai’i dari Hudzaifah secara marfu’: “Apabila kalian menyerahkan perkara itu kepada Abu Bakar, maka ia adalah orang yang kuat lagi terpercaya.”
Dalam hadits ini terdapat satu orang sanad yang gugur dan terletak di pertengahan sanad. Ia adalah Syurik, yang gugur (dan letaknya) antara ats-Tsauri dan Abi Ishak. Ats-Tsauri tidak mendengar secara langsung haditsnya dari Abu Ishak, melainkan mendengarnya dari Syurik. Syurik mendengar haditsnya dari Abu Ishak.
Macam- macam pengguguran (inqitha’) sebagai berikut.
1.      Inqitha’ dilakukan dengan jelas sekali, bahwa si rawi meriwayatkan hadits dapat diketahui tidak sezaman dengan guru yang memberikan hadits padanya atau ia hidup sezaman dengan gurunya, tetapi tidak mendapat ijazah (perizinan) untuk meriwayatkan haditsnya.
2.      Inqitha’ dilakukan dengan samar-samar, yang hanya dapat diketahui oleh orang yang mempunyai keahlian saja.
3.      Diketahui dari jurusan lain, dengan adanya kelebihan seorang rawi atau lebih dalam hadits riwayat orang lain.
5)      Hadits Mudallas
Hadits mudallas adalah hadits yang diriwayatkan menurut cara yang diperkirakan bahwa hadits itu tidak bernoda. Rawi yang berbuat demikian disebut mudallis. Hadits yang diriwayatkan oleh mudallis disebut hadits mudallas, dan perbuatannya disebut dengan tadlis.
 Hadits yang dikeluarkan Imam Ahmad (4/289), Abu Daud (5212) dan Tirmidzi (2727) dan Ibnu Majah (3703) dari jalan periwayatan:  Abu Ishaq as-Sabi’ie dari Baro’ bin Azib, dia berkata: Rasulullah bersabda:
مَا مِنْ مُسْلِمَيْنِ يَلْتَقِيَانِ فَيَتَصَافَحَانِ اِلَّاغُفِرَلَهُمَا قَبْلَ أَنْ يَتَفَرَّقَا.
Tidaklah dua orang muslim bertemu kemudian mereka berjabat tangan, kecuali mereka telah diampuni dosa mereka sebelum berpisah.
Abu Ishaq as-Sabi’ie adalah Amr bin Abdullah, dia adalah rawi yang tsiqah dan banyak meriwayatkan hadits, hanya saja dia melakukan tadlis. Dia banyak mendengar hadits-hadits dari Baro bin Azib radiyallahu 'anhu, namun hadits yang ia riwayatkan dari Baro ini ia riwayatkan dengan lafadz yang muhtamal (berkemungkinan mendengar atau tidak), dan dia tidak mendengar langsung dari Baro bin Azib. Dia hanya mendengar dari Abu Daud al-A’ma, yaitu namanya Nufa’i bin Harits, dia adalah rawi yang tidak dipakai dan tertuduh dusta. 
Di antara yang menunjukkan hal tersebut adalah bahwa  Ibnu Abi Dunya mengeluarkan hadits tersebut dalam kitab “al-Ikhwan” (hal: 172) dari jalan Abu Bakr Iyasy dari Abu Ishaq dari Abu Daud yang mendengar dari baro bin Azib dan 
Imam Ahmad mengeluarkan hadits tersebut dalam Musnadnya (4/289) dari jalan: Malik bin Migwal dari Abu Daud dari Baro bin Azib. Maka hadits Abu Ishaq dari Baro bin Azib adalah hadits mudallas. 
Macam-macam tadlis sebagai berikut.
1.      Tadlis Isnad, yaitu bila seorang rawi yang meriwayatkan suatu hadits dari orang yang pernah bertemu dengan dia, tetapi rawi tersebut tidak pernah mendengar hadits darinya. Agar rawi tersebut dianggap mendengar dari rawi yang digunakan, ia menggunakan lafadzh menyampaikan hadits dengan ‘an fulanin (dari si Fulan) atau anna fulanan yaqulu (bahwa si Fulan berkata).
2.      Tadlis Syuyukh, yaitu bila seorang rawi meriwayatkan sebuah hadits yang didengarkan dari seorang guru dengan menyebutkan nama kuniyah-nya, nama keturunannya, atau menyifati gurunya dengan sifat-sifat yang belum/tidak dikenal oleh orang banyak.
3.      Tadlis Taswiyah (Tajwid), yaitu bila seorang rawi meriwayatkan hadits dari gurunya yang tsiqah, yang oleh guru tersebut diterima dari gurunya yang lemah, dan guru yang lemah ini menerima dari seorang guru tsiqah pula, tetapi si mudallis tersebut meriwayatkan tanpa menyebutkan rawi-rawi yang lemah, bahkan ia meriwayatkan dengan lafadzh yang mengandung pengertian bahwa rawinya tsiqah semua.
b.      Dhaif karena tiadanya keadilan
1)      Hadits Maudhu’
Hadits maudhu’ adalah,
هُوَ الْمُخْتَلَعُ الْمَصْنُوْعُ الْمَنْسُوْبُ إِلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ زُوْرًا وَ بُهْتَانًا سَوَاءٌ كَانَ ذَلِكَ عَمْدًا أَمْ خَطَأً.

Hadits yang dicipta serta dibuat oleh seseorang (pendusta), yang ciptaan itu dinisbatkan kepada Rasulullah Saw secara palsu dan dusta, baik disengaja maupun tidak.
2)      Hadits Matruk
Hadits matruk adalah,
هُوَ الْحَدِ يْثُ الَّذِيْ فِى إِسْنَادِهِ رَاوٍمُتَّهَمٌ بِا لْكَذِ بِ.
Hadits yang pada sanadnya ada seorang rawi yang tertuduh dusta.                 
Rawi yang tertuduh dusta adalah seorang rawi yang terkenal dalam pembicaraan sebagai pendusta, tetapi belum dapat dibuktikan bahwa ia sudah pernah berdusta dalam membuat hadits. Seorang rawi yang tertuduh dusta, bila ia bertaubat dengan sungguh-sungguh, dapat diterima periwayatan haditsnya.
Contoh hadits matruk, “Telah datang kepadamu suku Adzi, orang-orang yang paling bagus wajahnya, paling manis mulutnya, dan paling sungguh-sungguh dalam perjumpaan.”
3)      Hadits Munkar
Hadits munkar adalah hadits yang pada sanadnya terdapat rawi yang jelek kesalahannya, banyak kelengahannya atau tampak kefasikannya. Lawannya dinamakan ma’ruf. Hadits munkar juga merupakan hadits yang diriwayatkan oleh orang yang lemah (perawi yang dhaif) yang bertentangan dengan periwayatan orang yang lebih terpercaya.
Contoh hadits munkar, “Permulaan bulan Ramadhan adalah rahmat, pertengahannya adalah ampunan dan terakhirnya adalah pembebasan dari (siksa) neraka.”
c.       Dha’if karena tiadanya dhabit
1)      Hadits Mudraj
Hadits mudraj adalah hadits yang menampilkan (redaksi) tambahan, padahal bukan (bagian dari) hadits.
Contoh hadits mudraj pada awal matan adalah hadits yang diriwayatkan oleh Al-Khathib Al-Baghdadi dengan sanadnya dari Abu Hurairah:
اسبغوا الوضوء ويل للاعقاب من النار.
Pada hadits tersebut kalimat asbighu al-wudhu’a adalah kalimat Abu Hurairah sendiri.
2)      Hadits Maqlub
Hadits Maqlub adalah hadits yang terbalik yaitu hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang dalamnya tertukar dengan mendahulukan yang belakang atau sebaliknya baik berupa sanad (silsilah) maupun matan (isi).
Contoh hadits maqlub ini yang di matannya adalah hadits riwayat Muslim, sebagai berikut:
. . . ورجل تصدق بصدقة اخفاها حتى لاتعلم يمينه ما تنفق شمال.
sebagaimana terdapat dalam shahih حتى لا تعلم شمله ماتنفق Padahal seharusnya    
Bukhari, Muwatha’ dan selain keduanya.
3)      Hadits Mudhtharib
Hadits Mudhtharib menurut As-Suyuthi yaitu: hadits yang diriwayatkan dengan bentuk yang berbeda-beda padahal dari satu perawi, dua atau lebih, atau dari dua perawi atau lebih yang berdekatan (dan tidak bisa ditarjih).

4)      Hadits Mushahhaf
Hadits Mushahhaf yaitu terjadinya perubahan redaksi hadits dan maknanya.
Contoh tashif al-matan ini adalah hadits Abu Ayyub Al-Anshary: Bahwasanya Nabi Saw bersabda: “Siapa yang berpuasa Ramadhan kemudian diikuti dengan puasa 6 hari pada bulan Syawal, maka ia seperti puasa sepanjang masa”.
Perkataan sittan yang artinya enam oleh Abu Bakr Al-Shauly dirubah menjadi syaian yang berarti sedikit. Dengan demikian rusaklah maknanya.
Adapun tashif pada sanad misalnya saja nama sanad yang sesungguhnya Ibnu Al-Badzar diubah dengan Ibnu Al-Nadzar.
5)      Hadits Muharraf
Yaitu hadits yang perbedaanya terjadi disebabkan karena perubahan syakal kata dengan masih tetapnya bentuk tulisannya.
ان النبي (ص) صلى الى العنزة  Contoh pada makna:                                                   
Bahwa Rasulullah Saw sembahyang pada anazah.
Abu Musa Muhammad Ibn Al-Mutsanna menyangka, bahwa makna Al-‘Anazah tersebut adalah salah satu suku masyhur Di Arab.
d.      Dha’if karena kejanggalan dan kecacatan
1)      Hadits Syadz
Hadits syadz adalah hadits yang diriwayatkan oleh seorang rawi yang maqbul, akan tetapi bertentangan (matannya) dengan periwayatan dari orang yang kualitasnya lebih utama.
Contoh hadits  syadz ini adalah “Kata abu Daud telah menceritakan kepada kami, Ibnu-Sarah, telah menceritakan kepada kami,  ibnu Wahb, telah mengabarkan kepada kami, Yunus dari Ibnu Syihab, dari Amrah binti Abdirrahman, telah mengabarkan dari Aisyah istri Nabi Saw, bahwa Rasulullah Saw berkurban untuk keluarga Muhammad (istri-istrinya) pada haji wada’ seekor sapi betina.
2)      Hadits Mu’allal
Hadits yang dinilai sakit atau cacat yaitu hadits yang di dalamnya terdapat cacat yang tersembunyi.
Contoh hadits mua’allal ini adalah hadits Ya’la bin ‘Ubaid: “Dari Sufyan Al-Tsauri, dari ‘Amr Ibn Dinar dari Ibn Umar dari Nabi Saw ia bersabda,
البيعان بالخيار مالم يتفرقا.
Si penjual dan si pembeli boleh memilih, selama belum berpisahan.
‘Illat ini terdapat pada ‘Amr Ibn Dinar. Seharusnya bukan ia yang meriwayatkan, melainkan ‘Abdullah Ibn Dinar. Hal ini diketahui dari riwayat-riwayat lain yang juga melalui sanad tersebut.
e.       Dha’if dari segi matan
Para ahli hadits memasukkan ke dalam kelompok hadits dha’if dari sudut persandarannya ini adalah hadits yang mauquf dan yang maqthu’.
1)      Hadits Mauquf
Hadits mauquf ialah hadits yang diriwayatkan dari para sahabat, baik berupa perkataan, perbuatan, atau taqrirnya. Periwayatannya, baik bersambung atau tidak.
Dikatakan mauquf, karena sandarannya terhenti pada thabaqah sahabat. Kemudian tidak dikatakan marfu’, karena hadits ini tidak dirafa’kan atau disandarkan kepada Rasulullah Saw.

Ibnu Shalah membagi hadits mauquf kepada dua bagian:
(a)   Mauquf al-maushul
(b)   Mauquf ghair al-maushul.
2)      Hadits Maqthu’
Hadits maqhtu’ yaitu hadits yang diriwayatkan dari tabi’in dan disandarkan kepadanya, baik perkataan maupun perbuatannya”. 

B.     Hadits Maudhu’
1.      Pengertian Hadits Maudhu’
وَضَعَ-يَضَعُ Hadits maudhu’ secara etimologis merupakan bentuk isim maf’ul dari                
الَتَّرْكُ    memiliki beberapa makna, antara lain ‘menggugurkan’. Juga bermakna            ’وَضَعَ’ Kata
(mengada-ada dan membuat-buat).   اَلْإِفْتِرَاءُ وَ الْإخْتِلَاقُ (meninggalkan). Selain itu, juga bermakna  
Menurut istilah, hadits maudhu’ adalah pernyataan yang dibuat oleh seseorang kemudian dinisbahkan kepada Rasulullah Saw secara palsu dan dusta baik dengan sengaja atau tidak, dengan tujuan buruk atau baik sekalipun.
Adapun pengertian hadits maudhu’ menurut istilah para muhaditsin adalah:
هُوَ مَا نُسِبَ إلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى االلهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إخْتِلَاقًا وَكِذْ بًا مِمَّالَمْ يَقُلْهُ أَوْيَغْعَلْهُ أَوْيُقِرَّهُ.

Sesuatu yang dinisbatkan kepada Rasulullah Saw secara mengada-ada dan dusta, yang tidak beliau sabdakan, beliau kerjakan ataupun beliau taqrirkan.
Dengan pengertian tersebut, kita dapat menyimpulkan bahwa hadits maudhu’ adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad Saw baik perbuatan, perkataan maupun taqrirnya, secara rekaan atau dusta semata-mata. Dalam penggunaan masyarakat Islam, hadits maudhu’ disebut juga dengan hadits palsu.
Kata-kata yang biasa dipakai untuk hadits maudhu’ adalah al-mukhtalaqu, al-muhtala’u, al-mashnu, dan al-makdzub. Kata tersebut memiliki arti yang hampir sama. Pemakaian kata-kata tersebut adalah lebih mengokohkan (ta’kid) bahwa hadits semacam ini semata-mata dusta atas nama Rasul Saw.
Ulama berbeda pendapat tentang sengaja atau tidaknya pembuatan hadits itu. Umar ibn Hasan, Utsman Fallatah dan Mahmud Abu Rayyah menyatakan bahwa hadits maudhu’ itu dibuat baik dengan sengaja ataupun tidak. Abu Bakar Abd al-Shamad Abid, dan Ibn Taymiyyah seperti dikutip Umar ibn Hasan Utsman Fallatah mengemukakan bahwa hadits maudhu’ adalah hadits yang dibuat dengan sengaja dan kalau tidak, bukan palsu.
2.      Kriteria Hadits Maudhu’
Ke-maudhu’-an suatu hadits dapat dilihat pada ciri-ciri yang terdapat pada sanad dan matan.
a.       Ciri-ciri yang terdapat pada sanad
Terdapat banyak ciri-ciri ke-maudhu’-an hadits yang terdapat pada sanad, diantaranya:
1)      Rawi tersebut terkenal berdusta (seorang pendusta) yang tidak ada seorang rawi yang terpercaya yang meriwayatkan hadits dari dia.
Contohnya, Abdurrahman bin Zaid bin Aslam seorang yang terkenal suka berbohong dan mengada-ada. Dia pernah mengatakan bahwa Rasulullah Saw bersabda: “Perahu Nabi Nuh mengitari Baitullah dan melakukan shalat dua rakaat di belakang makam Ibrahim.”
2)      Pengakuan dari si pembuat sendiri.
Contohnya, pengakuan dari ibn Abdu Robbi al-Farisi yang telah memalsukan hadits-hadits keutamaan al-Qur’an.
3)      Ungkapan perawi yang secara tidak langsung bermakna pengakuan.
Misalnya seorang perawi mengatakan telah mendengar hadits dari seseorang padahal keduanya tidak hidup sezaman, dan dia mengklaim bahwa hadits tersebut telah diambil dari orang tersebut.
Ketika Ma’mun Ibn Ahmad As-Sarawi mengaku bahwa ia menerima hadits dari Hisyam Ibn Amr kepada Ibn Hibban maka Ibnu Hibban bertanya, “Kapan engkau pergi ke Syam?” Ma’mun menjawab, “Pada tahun 250 H.” Mendengar itu, Ibnu Hibban berkata, “Hisyam meninggal dunia pada tahun 245 H.”
4)      Keadaan rawi dan faktor-faktor yang mendorongnya membuat hadist maudhu’. Misalnya seperti yang dilakukan Ghiyats bin Ibrahim seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.
b.    Ciri-ciri yang terdapat pada matan
Terdapat banyak pula ciri-ciri hadits maudhu’ yang terdapat dalam matan, di antaranya sebagai berikut.
1)      Keburukan susunan lafazhnya.
Jika terdapat kejanggalan dalam redaksi, ini adalah hal yang mustahil keluar dari orang yang paling fasih, yakni Nabi Muhammad SAW. Kaidah ini mudah dimengerti oleh orang-orang yang menggeluti bidangnya. Karena, sebuah hadis, sebagaimana diaktakan oleh Ar-Rabi’ bin Jutsaim “terang bagaikan terangnya siang, bila anda mengenalnya. Tetapi, kelam bagai gelap malam, bila anda tidak mengenalnya”.
Maksudnya, ciri ini akan diketahui setelah kita mendalami ilmu Bayan. Dengan mendalami ilmu Bayan, kita akan merasakan susunan kata, mana yang mungkin keluar dari mulut Nabi Saw, dan mana yang tidak mungkin keluar dari mulut Nabi Saw.
2)      Kerusakan maknanya.
(1)   Bertentangan dengan akal sehat.
Seperti hadits: “Pakailah cincin akik, karena bercincin akik dapat menghindarkan dari kekafiran.” Semua orang akan bertanya, apa hubungannya antara kekafiran dan cincin akik?
Atau hadits, “Jika seseorang sedang berbicara lalu ia bersin, maka ketahuilah bahwa ucapannya itu benar.” Apa hubungannya antara bersin dan kebenaran ucapan seseorang?
(2)   Berlawanan dengan hukum akhlak yang umum, atau menyalahi kenyataan
لَايُوْلَدُ بَعْدَ الْمِائَةِ مَوْلُوْدٌ الِلّهِ فِيْهِ حَاجَةٌ.
Tiada dilahirkan seorang anak sesudah tahun seratus, yang ada padanya keperluan bagi Allah.

(3)   Bertentangan dengan ilmu kedokteran.
اَلْبَاذِ نْجَانُ شِفَاءٌ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ.
Buah terong itu penawar bagi segala penyakit.
(4)   Karena mengandung dongeng-dongeng yang tidak masuk akal sama sekali, seperti hadits,
اَلدِّ يْكُ اْلأَبْيَضُ حَبِيْبِيْ وَ حَبِيْبُ حَبِيْبِيْ.
Ayam putih kekasihku dan kekasih dari kekasihku Jibril.

(5)   Bertentangan dengan keterangan Al-Quran atau hadits shahih serta ijma’.
Contoh hadits maudhu’ yang maknanya bertentangan dengan Al-Quran adalah hadits,
وَلَدُ الزِّنَا لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ إلَى سَبْعَةِ أَبْنَاءٍ.
Anak zina itu tidak dapat masuk surga sampai tujuh turunan.
Makna hadits ini bertentangan dengan kandungan Q.S. Al-An’am [6] ayat 164, yaitu:
وَلَاتَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَاى. (الأنعام: ١٦٤ )
Dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang yang lain. (Q.S. Al-An’am [6]: 164)
Ayat tersebut menjelaskan bahwa dosa seseorang tidak dapat dibebankan kepada orang lain. Seorang anak sekalipun tidak dapat dibebani dosa orang tuanya.
(6)   Menerangkan suatu pahala yang sangat besar terhadap perbuatan-perbuatan yang sangat kecil, atau siksa yang sangat besar terhadap suatu perbuatan yang kecil.
Seperti hadits, “Barang siapa makan bawang pada malam jum’at maka ia akan dilempar ke neraka hingga kedalaman tujuh puluh tahun perjalanan.”
Atau, “Barang siapa puasa sunnah sehari maka ia akan diberi pahala seperti melakukan seribu kali haji, seribu umrah, dan mendapat pahala Nabi Ayub.”


BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Hadits dhaif merupakan hadits yang di dalamnya tidak terdapat syarat-syarat hadits shahih dan syarat-syarat hadits hasan. Hadits dhaif ini memiliki penyebab mengapa bisa tertolak, di antaranya dengan sebab-sebab dari segi sanad dan juga dari segi matan. Kriteria hadits dhaif adalah karena sanadnya ada yang tidak bersambung, kurang adilnya perawi, kurang dhobitnya perawi dan ada syadz dalam hadits tersebut.
Hadits maudhu’ merupakan buatan pendusta yang dinisbahkan pada Nabi Saw, padahal tidak berasal darinya, maka pada hakikatnya bukan hadits tetapi pernyataan selain Allah. Hadits maudhu’ merupakan hadits palsu sehingga tidak baik / cocok untuk dijadikan sebuah landasan / pegangan dalam kehidupan sehari-hari untuk menentukan suatu hukum.


DAFTAR PUSTAKA

Solahudin, Agus dan Agus Suyadi. 2008. Ulumul Hadis. Bandung: Pustaka Setia
http://sulfiana22.blogspot.com/2014/04/hadis-dhoif-beserta-contoh-contohnya.html
http://nhuroelkmuetz.blogspot.com/2012/01/makalah-hadis-maudhu.html
http://mugnisulaeman.blogspot.com/2013/03/makalah-hadits-shahih-hasan-dan-dhaif-serta-contohnya.html

 

Beginner Template by Ipietoon Cute Blog Design