Jumat, 09 Desember 2016

Peran Manusia terhadap Kehidupan Sosial dan Budaya dalam Pandangan Islam


Peran Manusia terhadap Kehidupan Sosial dan Budaya dalam Pandangan Islam

Oleh:
Endah Oktavia
140603220

Dosen Pembimbing:
Tabrani. ZA, S.Pd.I., M.S.I




JURUSAN PERBANKAN SYARIAH
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI AR-RANIRY
BANDA ACEH


KATA PENGANTAR

Sesungguhnya segala puji bagi Allah, kita memuji-Nya, memohon pertolongan dari-Nya, meminta ampunan dari-Nya dan meminta perlindungan kepada-Nya dari kejahatan diri kita serta keburukan amal perbuatan kita. Shalawat dan salam semoga terlimpahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad Saw.
Karena hidayah-Nya pula, Alhamdulillah, penulis dapat menyelesaikan makalah dengan judul “Peran Manusia terhadap Kehidupan Sosial dan Budaya dalam Pandangan Islam” ini sebagai tugas dari mata kuliah Metodologi Studi Islam tepat pada waktunya. Pada kesempatan ini saya ucapkan terima kasih kepada bapak Tabrani selaku dosen mata kuliah Metodologi Studi Islam yang telah banyak memberikan bimbingan dan pengarahan sehingga makalah ini dapat selesai tepat pada waktunya.
Akhirnya penulis mohon kritik dan saran untuk lebih sempurnanya makalah ini. Selanjutnya penulis berharap makalah yang sederhana ini bermanfaat bagi pembaca, terutama bagi yang membutuhkannya.

Banda Aceh, 24 Januari 2015

Penulis



DAFTAR ISI

Kata Pengantari
Daftar Isiii
Bab 1 Pendahuluan1
A.    Latar Belakang1
B.     Rumusan Masalah2
C.     Tujuan2
Bab 2 Pembahasan3
A.    Agama dan Kehidupan3
B.     Sosial Bagian dari Manusia dalam Pandangan Islam 6
C.     Kebudayaan Bagian dari Manusia dalam Pandangan Islam 8
D.    Peran Manusia Terhadap Kehidupan Sosial dan Budaya dalam Pandangan Islam 11
Bab 3 Penutup14
Kesimpulan14
Daftar Pustaka15

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Kehidupan manusia sangatlah komplek, begitu pula hubungan yang terjadi pada manusia sangatlah luas. Hubungan tersebut dapat terjadi antara manusia dengan manusia, manusia dengan alam, manusia dengan makhluk hidup yang ada di alam, dan manusia dengan Sang Pencipta. Setiap hubungan tersebut harus berjalan seimbang.
Manusia juga harus bersosialisasi dengan lingkungan, yang merupakan pendidikan awal dalam suatu interaksi sosial. Hal ini menjadikan manusia harus mempunyai ilmu pengetahuan yang berlandaskan ketuhanan. Karena dengan ilmu tersebut manusia dapat membedakan antara yang hak dengan yang bukan hak, antara kewajiban dan yang bukan kewajiban. Sehingga norma-norma dalam lingkungan berjalan dengan harmonis dan seimbang. Agar norma-norma tersebut berjalan haruslah manusia di didik dengan berkesinambungan dari “dalam ayunan hingga ia wafat”, agar hasil dari pendidikan -yakni sosial dan kebudayaan- dapat diimplementasikan dimasyarakat.
Pendidikan sebagai hasil sosial dan budaya haruslah dipandang sebagai “motivator” terwujudnya kebudayaan yang tinggi. Selain itu pendidikan haruslah dibarengi dengan memasukkan nilai-nilai atau aturan-aturan sesuai dengan agama terutama agama Islam serta memberikan kontribusi terhadap sosial dan kebudayaan, agar sosial dan kebudayaan yang dihasilkan memberi nilai manfaat bagi manusia itu sendiri khususnya maupun bagi bangsa pada umumnya dan sesuai dengan apa-apa yang telah diperintahkan oleh Allah SWT.
Dengan demikian dapat kita katakan bahwa kualitas manusia pada suatu negara akan tinggi dan akan menghasilkan sosial dan kebudayaan yang tinggi. Karena diikutsertakan pandangan-pandangan yang sesuai dan benar di dalamnya.

B.     Rumusan Masalah
Adapun dalam tugas ini akan dibahas beberapa masalah, diantaranya:
1.      Bagaimana hubungan agama dengan kehidupan?
2.      Bagaimana manusia sebagai makhluk sosial dalam pandangan Islam?
3.      Bagaimana hubungan manusia dengan kebudayaan dalam pandangan Islam?
4.      Bagaimana peran manusia terhadap kehidupan sosial dan budaya dalam pandangan Islam?

C.    Tujuan
Makalah ini dibuat dengan tujuan sebagai pemenuhan tugas  Metodologi Studi Islam sekaligus sebagai literatur tambahan bagi mahasiswa atau pembaca yang ingin menambah wawasan yang mencakup peran manusia terhadap kehidupan sosial dan budaya dalam pandangan Islam.
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Agama dan Kehidupan
Kehidupan beragama pada dasarnya merupakan kepercayaan terhadap keyakinan adanya kekuatan gaib, luar biasa atau supernatural yang berpengaruh terhadap kehidupan individu dan masyarakat, bahkan terhadap segala gejala alam. Kepercayaan itu menimbulkan perilaku tertentu, seperti berdoa, memuja dan lainnya, serta menimbulkan sikap mental tertentu, seperti rasa takut, rasa optimis, pasrah, dan lainnya dari individu dan masyarakat yang mempercayainya. Karenanya keinginan, petunjuk, dan ketentuan kekuatan gaib harus dipatuhi kalau manusia dan masyarakat ingin kehidupan ini berjalan dengan baik dan selamat. Kepercayaan agama yang bertolak dari kekuatan gaib ini tampak aneh, tidak alamiah dan tidak rasional dalam pandangan individu dan masyarakat modern yang terlalu dipengaruhi oleh pandangan bahwa sesuatu diyakini ada kalau konkret, rasional, alamiah atau terbukti secara empirik dan ilmiah.[1]
Namun demikian, kehidupan beragama adalah kenyataan hidup manusia yang ditemukan sepanjang sejarah masyarakat dan kehidupan pribadinya. Adanya aturan terhadap individu dalam kehidupan bermasyarakat, berhubungan dengan alam lingkungannya, atau dalam berhubungan dengan Tuhan juga ditemukan di setiap masyarakat, di mana dan kapan pun. Adanya aturan kehidupan yang dipercayai berasal dari Tuhan juga termasuk ciri kehidupan beragama.[2]
Agama atau  minimal pendekatan keagamaan adalah cara yang efektif dalam membentuk kepribadian dan kebudayaan. Baik beragama sebagai sistem sosial budaya atau sebagai subsistem yang universal dan berbagai tipe penampilan serta penghayatannya di kalangan kelompok-kelompok masyarakat, dari yang sekedar untuk mencari kesejukan sampai kepada tidak merasa bersalah ketika melakukan tindakan teror terhadap masyarakat yang tidak berdosa, menjadikannya sangat penting dipahami oleh setiap individu dan lembaga yang berurusan dengan masyarakat.[3]
Agama mempunyai peraturan yang mutlak berlaku bagi segenap manusia dan bangsa, dalam semua tempat dan waktu, yang dibuat oleh sang pencipta alam semesta sehingga peraturan yang dibuat-Nya betul-betul adil. Secara terperinci agama memiliki peranan yang bisa dilihat dari: aspek keagamaan (religius), kejiwaan (psikologis), kemasyarakatan (sosiologis), hakikat kemanusiaan (human nature), asal usulnya (antropologis) dan moral (ethics).
Dari aspek religius, agama menyadarkan manusia, siapa penciptanya. Faktor keimanan juga mempengaruhi karena iman adalah dasar agama. Secara antropologis, agama memberitahukan kepada manusia tentang siapa, dari mana, dan mau ke mana manusia. Dari segi sosiologis, agama berusaha mengubah berbagai bentuk kegelapan, kebodohan, kemiskinan dan keterbelakangan. Agama juga menghubungkan masalah ritual ibadah dengan masalah sosial. Secara psikologis, agama bisa menenteramkan, menenangkan, dan membahagiakan kehidupan jiwa seseorang. Dan secara moral, agama menunjukkan tata nilai dan norma yang baik dan buruk, dan mendorong manusia berperilaku baik (akhlaq mahmudah).
Geertz mengungkap betapa kompleks dan mendalamnya kehidupan beragama. Agama tampak tumbang tindih dengan kebudayaan (Geertz 1992). Kemudian kompleksitas dan luasnya ruang lingkup ajaran agama dapat dilihat dalam ajaran Islam. Sebagai wahyu yang terakhir, Islam adalah ajaran yang komprehensif dan terpadu. Aspek hukum dari ajaran Islam juga tidak hanya mencakup hubungan dengan Allah (ibadat) saja, tetapi juga hubungan dengan sesama manusia (sosial) dan alam lingkungan.[4]
Namun dalam fenomena sosial budaya, dalam kenyataan hidup umat Islam di zaman modern ini, kehidupan beragama menjadi menciut akibat pengaruh modernisasi dan sekularisme.
Antropologi klasik memahami gejala kehidupan beragama sebagai kebudayaan suatu masyarakat. Agama dipahami sebagai human creation, human made. Agama dilihat sebagai:
1.      ekspresi simbolis dari kehidupan manusia yang dengannya manusia menafsirkan dirinya dan universe di sekelilingnya;
2.      yang memberikan motif bagi perbuatan manusia; dan
3.      sekumpulan tindakan yang berhubungan satu sama lain yang punya nilai-nilai yang melangsungkan kehidupan manusia.
Sumber utama ilmu agama adalah wahyu dan kitab suci yang dipahami dengan metode tertentu yang diakui dalam agama itu sendiri, seperti ijtihad dalam penelitian ajaran Islam. Tentu saja kajian seseorang secara teologis dipengaruhi oleh posisinya dalam agama tersebut. Kajian teologis yang dilakukan oleh penganut agama yang bersangkutan tentu akan berbeda dengan hasil kajian seseorang yang tidak menganut agama yang dikajinya menurut pandangan agama tersebut. Bahkan, yang terakhir, menurut ahli agama yang bersangkutan, tidak kompeten untuk melakukan kajian teologis. Seharusnya kajian teologis juga tidak terpengaruh oleh mazhab atau aliran yang dianut oleh ilmuwan yang bersangkutan. Yang harus digalinya adalah bagaimana ajaran Tuhan tentang masalah yang dihadapi. Kalau ajaran Tuhan yang diteliti, pandangan mazhab tertentu, termasuk mazhab atau aliran yang dianutnya, harus dikesampingkan. Akan tetapi keharusan tersebut sering tidak tercapai karena manusia, termasuk para ilmuwan, biasa dipengaruhi oleh latar belakang sejarah dan sosialnya.[5]


B.     Sosial Bagian dari Manusia dalam Pandangan Islam
Secara etimologis, term “Islam” berasal dari bahasa Arab terambil dari kata salima yang berarti selamat, sentosa, dan, damai. Dari kata salima berubah menjadi aslama yang berarti berserah diri masuk dalam kedamaian.
Dengan demikian, dari sisi kebahasaan, Islam berarti patuh, tunduk, taat, hutang, balasan, dan berserah diri dalam upaya mencari keselamatan dan kebahagiaan di dunia dan di akhirat.
Secara terminologis, Islam adalah agama yang ajaran-ajarannya diwahyukan Tuhan kepada manusia melalui Nabi Muhammad Saw sebagai rasul. Maulana Muhammad Ali (1980) menyimpulkan bahwa Islam adalah agama perdamaian yang memiliki dua ajaran pokok, yaitu keesaan Tuhan dan persaudaraan umat manusia yang selaras namanya.
Berdasarkan keterangan di atas maka kata Islam adalah mengacu pada agama yang bersumber dari wahyu yang datang dari Allah SWT, bukan dari manusia atau Nabi Muhammad Saw.
Dengan demikian secara terminologis Islam adalah nama bagi suatu agama yang berasal dari Allah SWT. Islam bukan nama yang diberikan manusia tetapi oleh Allah SWT sendiri. Dilihat dari konteks misi ajarannya, Islam adalah agama sepanjang zaman/sejarah manusia. Agama dari seluruh nabi dan rasul sejak Adam as. sampai Muhammad Saw.[6]
Sosial merupakan segala perilaku manusia yang menggambarkan hubungan nonindividualis. Istilah tersebut sering disandingkan dengan cabang-cabang kehidupan manusia dan masyarakat di manapun.
Sosial ini merujuk pada hubungan-hubungan manusia dalam kemasyarakatan, hubungan antar manusia, hubungan manusia dengan kelompok, serta hubungan manusia dengan organisasi untuk mengembangkan dirinya. Manusia merupakan makhluk sosial karena setiap manusia tidak bisa hidup sendirian, seseorang membutuhkan orang lain untuk mendukung hidupnya.
Hubungan agama dan organisasi sosial adalah bagian yang cukup penting dalam kebudayaan manusia. Manusia adalah makhluk sosial. Durkheim mengatakan solidaritas itu direkat oleh agama. Dengan banyaknya ritual dan yang sakral dalam agama tersebut, manusia menghilangkan kepentingan pribadinya dan larut dalam kepentingan bersama. Solidaritas yang tumbuh dari pertalian darah, kesukuan, dan agama, dalam pandangan modern adalah ikatan tradisional[7].
Ikatan masyarakat modern didasarkan hubungan bisnis, kepada ikatan kesamaan profesi, kepentingan, dan kebangsaan. Namun, hubungan sosial modern ini merupakan hubungan bisnis dan hubungan formal. Hubungan ini tidak akrab, tidak mendalam, tidak hangat dan kurang serasa sepenanggungan.[8]
Sudah disebutkan bahwa agama, di samping sebagai sebuah keyakinan, juga merupakan gejala sosial. Artinya, agama yang dianut melahirkan berbagai perilaku sosial, yakni perilaku yang tumbuh dan berkembang dalam sebuah kehidupan bersama. Kadang-kadang perilaku tersebut saling memengaruhi satu sama lain. Norma-norma dan nilai-nilai agama diduga sangat berpengaruh terhadap perilaku sosial.[9]
Karakteristik ajaran Islam dapat dilihat dari ajarannya di bidang sosial. Ajaran Islam di bidang sosial ini termasuk yang paling menonjol karena seluruh bidang ajaran Islam ditujukan untuk kesejahteraan manusia. Dalam bidang sosial ini Islam menjunjung tinggi tolong-menolong, saling menasihati tentang hak dan kesabaran, kesetiakawanan, kesamaan derajat, tenggang rasa dan kebersamaan. Kualitas dan ketinggian derajat seseorang ditentukan oleh ketakwaannya yang ditunjukkan oleh prestasi kerjanya yang bermanfaat bagi manusia. Atas dasar ukuran ini, maka dalam Islam semua orang memiliki kesempatan yang sama.[10]

C.    Kebudayaan Bagian dari Manusia dalam Pandangan Islam
Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa sangsekerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia.
Dalam arti terminologi budaya adalah sebuah sistem yang memiliki koherensi. Menurut E.B Taylor (1987) kebudayaan meliputi pengetahuan, kepercayaan, seni, moral hukum, adat istiadat, pembawaan lain yang di peroleh dari anggota masyarakat yang terbentuk dari anggota masyarakat yang terbentuk dari pemahaman suatu bangsa.
Manusia mempunyai tingkatan yang lebih tinggi karena selain mempunyai sebagaimanaa makhluk hidup di atas, manusia juga mempunyai akal yang dapat memperhitungkan tindakannya yang kompleks melalui proses belajar yang terus-menerus. Selain itu manusia dikatakan pula sebagai makhluk budaya. Budaya diartikan sebagai pikiran atau akal budi.
Berdasarkan pengertian-pengertian di atas, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa budaya adalah sesuatu bagian dari manusia tidak akan pernah terpisahkan, karena tabiat manusia itu sendiri adalah berbudaya. Kenapa begitu? Jika kita melihat arti manusia secara bahasa, yakni dari kata manu, memiliki arti berfikir, berakal budi. Dan budaya sendiri dalam arti bahasa berarti akal atau budi. sehingga jika kita menarik garis lurus antara arti kata manusia dan budaya, maka kita akan mendapatkan dua kata kunci, yakni akal dan budi. hal ini menunjukkan keterkaitan diantara keduanya.
Masyarakat adalah orang yang hidup bersama yang menghasilkan kebudayaan. Jadi, tidak ada masyarakat yang tidak mempunyai kebudayaan dan sebaliknya tidak ada kebudayaan tanpa masyarakat sebagai wadah dan pendukungnya. Walaupun secara teoritis dan untuk kepentingan analitis, kedua persoalan tersebut dapat dibedakan dan dipelajari secara terpisah[11].
Dengan demikian, kebudayaan adalah keseluruhan dari kehidupan manusia yang terpola dan didapatkan dengan belajar atau yang diwariskan kepada generasi berikutnya, baik yang masih dalam pikiran, perasaan dan hati pemiliknya, maupun yang sudah lahir dalam bentuk tindakan dan benda. Kebudayaan dilestarikan oleh pemiliknya dengan mewariskannya kepada generasi berikutnya melalui pendidikan formal, informal dan nonformal; dengan berusaha mempertahankannya dan infiltrasi kebudayaan asing; dengan mengembangkannya; dengan mendokumentasikannya dalam buku, foto-foto, museum, rekaman, dan lainnya; atau melakukan gerakan kultural secara bersama dan berorganisasi.[12]
Pengertian kebudayaan sebagai pedoman memungkinkan para warga masyarakat saling berkomunikasi tanpa salah paham. Karena dengan menggunakan kebudayaan yang sama sebagai acuan untuk bertindak, setiap pelaku yang berkomunikasi bisa meramalkan apa yang diinginkan oleh pelaku yang dihadapinya. Begitu juga dengan menggunakan simbol-simbol dan tanda-tanda yang secara bersama-sama dipahami makna-maknanya. Pada tingkat individual, kebudayaan yang dimiliki masyarakat menjadi pengetahuan bagi para pelakunya. Pengetahuan kebudayaan tersebut dapat berbeda satu sama lain, tergantung pengalaman dan kemampuannya masing-masing dalam menjawab setiap tantangan.[13]
Kebudayaan tidak mudah berubah. Jika setiap pedoman bagi kehidupan tersebut berubah, kehidupan manusia menjadi kacau. Mekanisme yang menahan perubahan-perubahan kebudayaan tadi adalah nilai-nilai budaya itu sendiri. Sebab, nilai-nilai budaya itu berisikan keyakinan-keyakinan yang menjadi pedoman bagi kehidupan masyarakat. Selain itu, bertahan atau tidaknya suatu nilai budaya disebabkan oleh kuat dan mendalamnya keyakinan-keyakinan keagamaan yang mengejawantah dalam bentuk kebudayaan. Sebab, pada saat nilai-nilai budaya suatu kebudayaan itu berintikan atau berasaskan keyakinan agama, ia bersifat sakral dan suci.[14]
Karakteristik ajaran Islam dalam bidang ilmu dan kebudayaan bersikap terbuka, akomodatif, dan juga selektif. Dari satu segi Islam terbuka dan akomodatif untuk menerima berbagai masukan dari luar, tetapi bersamaan dengan itu Islam juga selektif, yakni tidak begitu saja menerima seluruh jenis ilmu dan kebudayaan, melainkan ilmu dan kebudayaan yang sejalan dengan Islam. Bagaimanapun, Islam adalah sebuah paradigma terbuka. Ia merupakan mata rantai peradaban dunia.[15]
Karakteristik Islam dalam bidang ilmu pengetahuan dan kebudayaan tersebut dapat pula dilihat dari 5 ayat pertama surah Al-Alaq yang diturunkan Tuhan kepada Nabi Muhammad Saw. Islam demikian kuat mendorong manusia agar memiliki ilmu pengetahuan dengan cara menggunakan akalnya untuk berpikir, merenung, dan sebagainya. Islam menempuh cara demikian, karena dengan ilmu pengetahuan tersebut seseorang dapat meningkatkan kualitas dirinya untuk meraih berbagai kesempatan dan peluang. [16]
Apabila manusia sudah dapat mempertahankan diri dan menyesuaikan diri pada alam, juga kalau dia telah dapat hidup dengan manusia-manusia lain dalam suasana damai. Maka, timbullah keinginan manusia untuk menciptakan sesuatu untuk menyatakan perasaan dan keinginannya kepada orang lain, halmana juga merupakan fungsi kebudayaan. Hal ini bertujuan untuk mengatur hubungan antara manusia, akan tetapi untuk mewujudkan perasaan-perasaan seseorang. Dengan demikian, fungsi kebudayaan sangat besar bagi manusia, yaitu untuk melindungi diri terhadap alam, mengatur hubungan antar-manusia dan sebagai wadah segenap perasaan manusia.[17]

D.    Peran Manusia Terhadap Kehidupan Sosial dan Budaya dalam Pandangan Islam.
Manusia merupakan makhluk yang paling sempurna bila dibanding dengan makhluk lainnya, mempunyai kewajiban dan tanggung jawab untuk mengelola bumi. Karena manusia diciptakan untuk menjadi khalifah, sebagaimana dijelaskan pada surat Al-Baqarah: 30 yang artinya: Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.”
Dalam bukunya berjudul Perspektif Manusia dan Agama, Murthada Muthahhari mengatakan bahwa di saat berbicara tentang para nabi, Imam Ali as. menyebutkan bahwa mereka diutus untuk mengingatkan manusia kepada perjanjian yang telah diikat oleh fitrah mereka, yang kelak mereka akan pula diucapkan oleh lidah, melainkan terukir dengan pena ciptaan Allah di permukaan kalbu dan lubuk fitrah manusia, dan di atas permukaan hati nurani serta di kedalaman perasaan batiniah[18].
Oleh karena itu manusia harus menguasai segala sesuatu yang berhubungan dengan kekhalifahannya disamping tanggung jawab dan etika moral harus dimiliki.
Akhlak menjadi penyebab punahnya suatu bangsa, dikarenakan jika akhlak suatu bangsa sudah terabaikan, maka peradaban dan budaya bangsa tersebut akan hancur dengan sendirinya. Oleh karena itu untuk menjadi manusia yang berbudaya, harus memiliki ilmu pengetahuan, tekhnologi, budaya dan industrialisasi serta akhlak yang tinggi (tata nilai budaya) sebagai suatu kesinambungan yang saling bersinergi.
Hommes mengemukakan bahwa, informasi IPTEK yang bersumber dari sesuatu masyarakat lain tak dapat lepas dari landasan budaya masyarakat yang membentuk informasi tersebut. Karenanya di tiap informasi IPTEK selalu terkandung isyarat-isyarat budaya masyarakat asalnya. Selanjutnya dikemukakan juga bahwa, karena perbedaan-perbedaan tata nilai budaya dari masyarakat pengguna dan masyarakat asal teknologinya, isyarat-isyarat tersebut dapat diartikan lain oleh masyarakat penerimanya.
Disinilah peran manusia sebagai makhluk yang diberi kelebihan dalam segala hal, untuk dapat memanfaatkan segala fasilitas yang disediakan oleh Allah SWT melalui alam ini. Sehingga dengan alam tersebut manusia dapat membentuk suatu kebudayaan yang bermartabat dan bernilai tinggi. Namun perlu digarisbawahi bahwa setiap kebudayaan akan bernilai tatkala manusia sebagai masyarakat mampu melaksanakan norma-norma yang ada sesuai dengan tata aturan agama.  Ajaran Islam yang demikian telah mendorong umatnya untuk mengerahkan segala daya dan upaya bagi kebaikan dan kesejahteraan umat manusia, termasuk dalam pengembangan kebudayaan. Upaya-upaya tersebut kemudian telah menghasilkan suatu prestasi peradaban baru yang tinggi yang dikenal dengan “peradaban Islam” yang dalam sejarahnya telah memberikan andil yang cukup besar bagi kemajuan peradaban dunia. Ayat-ayat Alquran memang banyak memberikan dorongan kepada umat manusia bagi pengembangan kebudayaan. Motivasi yang diberikan Alquran dan hadis nabi dalam hal pengembangan budaya dalam sejarah Islam terbukti telah menghasilkan pretasi budaya yang luar biasa. Puncaknya sebagaimana terlihat pada masa Abbasiah yang kemudian dikenal dengan kebudayaan Islam. Prestasi demikian didukung oleh peran penguasa Islam (khalifah), yang memberikan perhatian terhadap pengembangan budaya. Para ilmuwan sangat dilindungi, diberikan perhatian yang istimewa oleh para penguasa tanpa memandang latar belakang ilmuwan tersebut: apakah beragama Islam atau tidak, bangsa Arab atau tidak. Tidak hanya itu, orang-orang yang kaya yang memiliki harta berlimpah juga umumnya sangat menaruh perhatian yang cukup besar dalam hal pengembangan budaya. Sebagian harta mereka digunakan untuk pengembangan budaya. Dengan kata lain segenap elemen masyarakat terlibat dan mendukung dalam hal pengembangan ilmu dan budaya. Kondisi demikianlah yang menyebabkan umat Islam berhasil menjadi bangsa yang besar bangsa yang memiliki prestasi luar biasa dalam melahirkan budaya, yang dikenal dengan kebudayaan Islam. Kebudayaan ini sesungguhnya lahir dari kemampuan umat Islam dalam mengembangkan berbagai budaya yang telah berkembang dan mapan pada masa sebelumnya, terutama kebudayaan Romawi, dan Persia.
Kebudayaan yang dikembangkan oleh umat Islam tersebut meliputi berbagai bidang keilmuwan, seperti Medis, Astronomi, Fisika, Matematika, arsitektur, dan ilmu-ilmu lain di samping ilmu agama. Ilmuwan-ilmuwan yang sangat berjasa dalam pengembangan ilmu tersebut di antaranya adalah Ibn Rusyd, Al-Farabi, Al-Kindi (Filosof), Ibn Sina (kedokteran), Al-Mawardi (tata negara), Al-Biruni (Fisika), Al-Khawarizmi, Umar Khayyam (matematika), dan lain-lain.
Kebudayaan Islam pada masa itu dianggap sebagai yang spektakuler sungguh prestasi budaya yang sangat tinggi di saat kebudayaan lain,khususnya Eropa masih dalam tahap kemunduran .


BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa sosial dan budaya harus disertai dengan adanya agama. Dengan begitu, akan ada peraturan-peraturan yang dapat membuat masyarakat hidup dengan adil, damai, dan bebas. Pada hakikatnya manusia adalah makhluk yang berakal, berbudi, dan berbudaya.
Peran manusia sangat penting terhadap kehidupan bersosial budaya tersebut, karena tanpa adanya andil manusia, maka tidak akan terlaksananya suatu hubungan baik antar-manusia, manusia dengan alam, maupun manusia dengan Tuhannya, dengan cara tetap menjaga, melaksanakan dan melestarikannya.  
Sosial dan budaya merupakan hasil cipta, karsa, rasa manusia yang diperoleh dari perkembangan manusia sebagai masyarakat.



DAFTAR PUSTAKA

Agus, Bustanuddin. 2006. Agama dalam Kehidupan Manusia (Pengantar Antropologi Agama), Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Maman, U, dkk. 2006. Metodologi Penelitian Agama (Teori dan Praktik), Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Nata, Abuddin. 1998. Metodologi Studi Islam, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Soekanto, Soerjono. 1990. Sosiologi (Suatu Pengantar), Jakarta: PT RajaGrafindo    Persada.
Tabrani. 2013. Pengantar Metodologi Studi Islam, Banda Aceh: SCAD Independent.
http://kukuh30.blogspot.com/2012/06/ilmu-budaya-dasar-hakekatmanusia.html



[1] Bustanuddin Agus, Agama dalam Kehidupan Manusia (Pengantar Antropologi Agama), hal 1
[2] Ibid, hal 2
[3] Ibid, hal 8
[4] Ibid, hal 9
[5] Ibid, hal 15
[6] Tabrani, ZA, S.Pd.I., M.S.I, Pengantar Metodologi Studi Islam, hal 30
[7] Bustanuddin Agus, Agama dalam Kehidupan Manusia (Pengantar Antropologi Agama), hal 203
[8] Ibid, hal 204
[9] Drs. U. Maman Kh., M.Si, dkk, Metodologi Penelitian Agama (Teori dan  Praktik), hal 127

[10] Prof. Dr. H. Abuddin Nata, M.A., Metodologi Studi Islam, hal 88

[11] Soerjono Soekanto, Sosiologi (Suatu Pengantar), hal 171
[12] Bustanuddin Agus, Agama dalam Kehidupan Manusia (Pengantar Antropologi Agama), hal 35
[13] Drs. U. Maman Kh., M.Si, dkk, Metodologi Penelitian Agama (Teori dan  Praktik), hal 96
[14] Ibid, hal 97
[15] Prof. Dr. H. Abuddin Nata, M.A., Metodologi Studi Islam, hal 85
[16] Ibid, hal 87
[17] Soerjono Soekanto, Sosiologi (Suatu Pengantar), hal 182

[18] Prof. Dr. H. Abuddin Nata, M.A., Metodologi Studi Islam, hal 16

0 komentar:

Posting Komentar

 

Beginner Template by Ipietoon Cute Blog Design